Apa Itu Bruxism?
Penjelasan tentang Bruxism
Apa Itu Bruxism? - Istilah
bruxism berasal dari kata Greek (brychein), yang berarti to
gnash the teeth
atau mengerotkan gigi-gigi, fenomena bruxism yang tercatat yaitu
kira-kira pada 600-200 BC ( Ahlberg, 2008). Definisi bruxism menurut
The
Academy of Prosthodontics, 2005
yaitu parafunsional grinding
dari
gigi-gigi, suatu kebiasaan yang tanpa disadari dan berulang atau
tidak beraturan (spasmodik), non fungsional grinding
atau clenching,
selain
dari gerakan pengunyahan mandibula yang akan mengarah ke trauma
oklusal, situasi ini disebut pula sebagai neurosis oklusal. Sedangkan
definisi bruxsim menurut American
Academy of Orofacial Pain,
2008 bruxism adalah aktivitas
parafungsional diurnal atau nokturnal yang mencakup clenching,
bracing, gnashing and grinding pada
gigi.
Bruxism
adalah istilah yang digunakan untuk mengindikasikan kontak
nonfungsional gigi yang meliputi clenching, grinding, dan tapping
dari gigi dapat terjadi selama siang hari atau malam hari dan
berlangsung secara sadar dan tidak sadar. terjadi dalam kondisi sadar
dengan adanya ketidaknormalan fungsi pada otak (Singh, 2007 ;
Rosenthal, 2007; Herrera dkk., 2006). Menurut Rao (2008) bruxism
terjadi sekitar 15% pada anak-anak dan orang dewasa.Bruxism dapat
menyebabkan beberapa komplikasi dental, oral, maupun fasial. Kondisi
ini sering merupakan sumber sakit kepala, kerusakan gigi yang
membutuhkan perawatan restoratif, penyebab kegagalan implan, dan
bahkan rasa sakit pada leher dan TMJ (Rosenthal, 2007; Herrera dkk.,
2006).
Berbagai
teori dikemukakan
untuk menjelaskan adanya kontroversi etiologi
bruxism yang telah berlangsung bertahun-tahun.
Nadler (1957) membagi etiologi bruxism menjadi empat yaitu (1) faktor
lokal, suatu gangguan oklusal ringan, usaha yang dilakukan pasien
tanpa sadar untuk memperbanyak jumlah gigi yang berkontak atau reaksi
atas adanya iritasi lokal, (2) faktor sistemik, gangguan
gastrointestinal, defisiensi nutrisi dan alergi atau gangguan
endokrin telah dilaporkan menjadi salah satu faktor penyebab, (3)
faktor psikologis, tekanan emosi yang tidak dapat di tunjukan oleh
pasien seperti rasa takut, marah, dan penolakan, perasaan tersebut
disembunyikan dan secara
tidak sepenuhnya sadar diekspresikan melalui berbagai cara seperti
menggeretakkan gigi, (4) faktor pekerjaan, seperti para pembuat
arloji, orang-orang yang suka mengunyah permen karet, tembakau atau
benda-benda lain seperti pensil atau tusuk gigi. (Singh, 2007; Ghom
and Mhaske, 2009; Rao 2008).
Berdasarkan
telaah literatur terdapat dua kelompok faktor penyebab bruxism yaitu
periferal (morfologis) dan sentral (physiopatologis dan psikologis).
Saat ini, bruxism lebih mengarah ke etiologi sentral daripada
periferal ( Lobbezoo, 2001). Hasil riset ahir-ahir ini
mengindikasikan adanya faktor genetik berperan sebagai etiologi
bruxism ( Hublin dkk, 2003 ). Berbagai studi memperlihatkan pula
berbagai faktor resiko yang memperburuk bruxism sperti merokok,
kafein dan konsumsi alkohol ( Ohayon dkk, 2001 ).
Dokter
gigi diklinik perlu perhatian untuk mengenal kelainan psikis dan
psikiatrik, seperti kecemasan atau kecemasan patologis, kondisi hati
(mood)
dan kelainan personaliti. Pada kondisi tersebut seorang psikolog
sangat diperlukan. Menurut Lavigne, dkk. 2008, untuk memahami
penyebab bruxism adalah sangat sulit untuk mengisolir peran stres dan
kecemasan dari perubahan yang terjadi pada autonomik dan kegiatan
motorik. Adanya keberagaman psikososial dan penanda biologis akan
saling mempengaruhi, sehingga sulit untuk mendapatkan deskripsi yang
jelas, sederhana dan sahih hubungan sebab diantara stres, kecemasan
dan bruxism.
Fenomena
bruxism yang tercatat yaitu kira-kira pada 600-200 BC. Fenomena
bruxism telah mempengaruhi banyak orang di seluruh dunia. Di Amerika
Serikat diduga sebanyak 45 juta orang memiliki tanda dan gejala dari
bruxism (sewaktu tidur) dan 20% dari penduduk mengalami bruxism
sewaktu bangun ( Lavigne dkk, 2008 ). Prevalensi bruxism berkisar
antara 14% - 20% pada anak-anak, 5% - 8% pada orang dewasa dan
menurun menjadi 3% pada orang usia diatas 60 tahun ( Gloroa dkk, 1981
). Tidak terdapat perbedaan predileksi jenis kelamin, artinya bruxism
dapat dialami oleh baik laki-laki maupun perempuan ( Lavigne dkk,
1994 ).
Bruxism
yang terjadi pada saat masa kanak-kanak akan menimbulkan erupsi yang
tidak sempurna pada gigi posterior dan juga menyebabkan menurunnya
petumbuhan vertikal dari maksila posterior, selain itu berakibat
atrisi pada gigi anterior yang akan menyebabkan turunnya dimensi
vertical sehingga bermanifestasi pada deep overbite gigi anterior
(Bishara,2001).
Bruxism
akan mengahasilkan erupsi yang tidak komplit pada gigi posterior
sehingga menurunkan petumbuhan vertical dari maksila posterior dan
proses pembentukan alveolar mandibula yang menghasilkan kenaikan
overbite anterior. Gigi yang terkikis pada penderita bruxism
menyebabkan pengurangan jarak antara rahang atas dan rahang bawah,
sehingga mengurangi dimensi vertikal (Ghom and Mhaske, 2009).
Penurunan dimensi vertikal bermanifestasi pada deep-overbite pada
gigi anterior (Bishara, 2001).
Menurut
Cawson
dkk, 2002 terdapat beberapa tanda klinis yang dapat kita jumpai pada
penderita bruxism, yaitu:
a.
Biasanya terlihat pada permukaan kunyah seperti insisal,
oklusal, dan proksimal.
b.Biasanya
menyebabkan permukaan melengkung sampai rata, mahkotanya memendek dan
permukaan enamel oklusal/ insisal menghilang. Menyebabkan tepi enamel
menjadi tajam.
c. Pada
gigi anterior, ujung insisal tampak melebar. Pada gigi posterior,
bagian yang mengalami efek bruxism terutama adalah cusp.
d.
Pada gigi rahang atas, yang paling mudah terkena efek bruxism adalah
cusp lingual, sementara pada gigi rahang bawah adalah cusp bukal.
Jika sudah terkena dentin, warna menjadi kekuning-kuningan serta
terbuka.
e.
Keausan batas (facet) meluas lebih cepat karena faktor fisiologis.
Menurut
Lobbezoo,
2001 bruxism dapat dikategorikan menjadi 3 macam berdasarkan faktor
penyebabnya, yaitu:
a.
Faktor Periferal ( morfologis )
Faktor
periferal pada waktu lalu dipertimbangkan sebagai etiologi
utama bruxism. Ramfjorf (1961) menyarankan bahwa bruxism dapat
dihilangkan dengan penyesuaian oklusal. Tapi dari
berbagai
studi menunjukkan bahwa hubungan antara bruxism dan faktor oklusal
adalah lemah atau tidak ada ( Manfredini
dkk, 2004 ). Sementara itu, Michelotti dkk, 2005, dalam
eksperimennya, bahwa suprakontak nyata berhubungan dengan pengurangan
kegiatan elektomiografi (EMG) ketika bangun. Hasil double-blind
randomized controlled studies
di Finland menunjukkan bahwa interferensi oklusal artifisial
tampaknya mengganggu keseimbangan oromotor pada mereka dengan
kelainan temporomandibular ( Niemi dkk, 2006 ). Artikel tinjauan
Luther, 2007 menyatakan tidak ada bukti bahwa interferens oklusal
sebagai etiologi bruxism, atau penyesuaian oklusal dapat mencegahnya.
b.
Faktor Pathophysiologi
Pathophysiologi
dari bruxism sewaktu tidur tampaknya belum dapat dijelaskan
sepenuhnya, tetapi mungkin disebabkan mulai dari faktor psikososial
seperti stres, kecemasan, respon yang eksesif sampai microarousals.
Microarousals
didefinisi
sebagai periode singkat (3-15 detik) dari aktivitas cortikal sewaktu
tidur, yang berhubungan peningkatan aktivitas sistem syaraf
sympatetik. Hampir 80% episod bruxism terjadi dalam kelompok, sewaktu
tidur dan berhubungan dengan microarousal. Mengerotkan gigi didahului
urutan kejadian psikologis: peningkatan aktivitas sympatetik (pada 4
menit sebelum mengerot dimulai), diikuti aktivasi cortikal (1 menit
sebelumnya) dan peningkatan ritme jantung dan tonus otot pembukaan
mulut (1 detik sebelumnya) ( Kato dkk 2001 )
Bukti
terbaru yang mendukung hipotesis bahwa bruxism dimediasi secara
sentral dibawah rangsangan autonom dan otak. Bukti mendukung peran
syaraf sentral dan sistem syaraf autonom pada awal aktivitas
oromandibular bruxism selama tidur malam ( Lavigne
dkk, 2007 ).
c.
Faktor Psikologis
Studi
oleh Lobbezoo dan Naeije, 2001 menyatakan bahwa pengalaman stres dan
faktor psikososial berperan penting pada penyebab bruxism. Menurut
literatur berdasarkan laporan sendiri (self-reported)
dan observasi klinik adanya keausan gigi adalah satu cara untuk
menilai bruxism dalam hubungannya dengan kecemasan dan stres ( Janal
dkk, 2007 ). Tetapi, ada keterbatasan dari metoda tersebut, karena
keausan gigi digambarkan sebagai indikator yang lemah dari konsep
bruxism dan tidak membedakan clenching dan grinding ( Marbach dkk,
1990 ). Besarnya keausan gigi dipengaruhi oleh kepadatan email atau
kualitas saliva dan efektivitas lubrikasinya ( Lavigne dkk, 2003 ).
Untuk
mendiagnosis bruxism sebagai dokter gigi perlu melihat tanda –
tanda klinis dan perubahan pada gigi dan rongga mulut pada beberapa
kunjungan. Hal ini dilakukan untuk melihat apakah keadaan bruxism ini
memerlukan medikasi tau tidak. Apabila dicurigai bruxism maka kita
dapat mengajukan pertanyaan seputar kesehatan
gigi umum , obat-obatan , rutinitas sehari-hari pasien dan kebiasaan
tidur.
Untuk
mengevaluasi sejauh mana tingkat bruxism dapat dulakukan pemeriksaan
sebagai berikut:
a.
Pemeriksaan untuk mengetahui apakah terdapat nyeri atau tidak pada
otot rahang
b.
Kelainan gigi yang jelas , seperti patah atau hilang gigi atau
keselarasan gigi yang buruk
c.
Pemeriksaan keadaan gigi dan jaringan pendukung gigi yang rusak
dengan menggunakan sinar x
d.
Pada pemeriksaan
radiografis pada penderita bruxism dapat ditemui:
e.
Pada pemeriksaan mikroskopis akan dijumpai
goresan-goresan parallel dengan satu arah pada permukaan yang datar
dan ada batas pada setiap seginya.
DAFTAR
PUSTAKA
Ahlberg
K. Self-reported bruxism. Academic dissertation. Department of
Stomatognathic Physiology and Prosthetic Dentistry . Institute of
Dentistry. Faculty of Medicine. University of Helsinki. Finland.
2008.
Cawson,
R.A. Odell, E.W. Cawson’s
Essential of Oral Pathology and Oral Medicine7th
ed. London. Churchill Livingstone.2002
de
la Hoz-Aizpurua JL, Díaz-Alonso E, LaTouche-Arbizu R, Mesa-Jimé-nez
J. Sleep bruxism. Conceptual review and update. Med Oral Patol Oral
Cir Bucal. 2011 Mar 1;16 (2):e231-8.
Gloroa
AG. Incidence ofdiurnal and nocturnal bruxism. J Prosthet Dent 1981
may;45(5):545-9
Herrera,
M., Valencia, I., Grant, M., Metroka, D., Chialastri, A., Kothare, S.
V., Bruxism in
Children:
Effect on Sleep Architecture and Daytime Cognitive Performance and
Behavior, SLEEP, Vol. 29(9): 1143-8.
Hublin
C, Kaprio J. Genetic aspect and genetic epidemiology of parasomnia.
Sleep Med Rev. 2003;7:413-21
Janal
MN, Raphael KG, Klausner JJ, Teaford MF. The role of tooth-grinding
in the maintenance of myofacial face pain: a test of alternative
models. Pain Med. 2007;8:468-496
Kato
T, Rompre P, Montplaisir JY, Sessle BJ, lavigne GJ. Sleep bruxism an
oromotor activity secondary to microaurosal. J Dent Res.
2001;80(10):1940
Lavigne
GJ, Montplaisir Jy. Restless legs syndrome and sleep bruxism:
prevalence and association among Canadians. Sleep. 1994; 17(8):
739-43.
Lavigne
GJ, Kato T, Kolta A, Sessle BJ. Neurobiological mechanism involved in
sleep bruxism. Crit Rev Oral Biol. Med. 2003;14:30-46.
Lavigne
GJ, Huynh N, Kato T, Okura K, Yao D, et al. Genesis of sleep bruxism:
otor and autonomic-cardiac interaction. Arch Oral Biol.
2007;52:361-381.
Lavigne
GJ, Khoury S, Abe S, Yamaguchi T, Raphael K. Bruxism physiology and
pathology: an overview for clinicians. J Oral Rehab.
2008;35:476-494.
Lobbezoo
F, Neije M. Bruxism is mainly regulated centrally not peripherally. J
Oral Rehabil. 2001;28:1085-91.
Luther
F. TMD and occlusion part II. Damned if we dont? Functional occlusal
problems: TMD epidemiology in a wilder context. Br Dent J
2007;13:202(1):1-6.
Manfredini
D, landi N, Tognini F, montagnani G, Brosco M. Psyhic and occlusal
factorsin bruxism. Aust Dent J 2004a;49:84-9.
Marbach
J, raphael G. Dohrendwend P, Lennon C. The validity of tooth grinding
measures:etiology of pain dysfunction syndrome revisited. J Am Dent
Assoc. 1990;120:327-333.
Michelotti
A, Farella M, Gallo LM, Veltri A, Palla S, Martma R. Effect of
occlusal interference on habitual activity of human masseter. J Dent
Res. 2005;84:644-648.
Niemi
PM, Alanen P, Kylmälä M, Jämsä T, Alanen P. Psychological factors
and responses to artificial interferences in subjects with and
without a history of temporomandibular disorder. Acta Odontol Scand
2006;64:300-5.
Ohayon
MM, Li KK, Guilleminault C. Risk factors for sleep bruxism in the
general population. Chest. 2001;119:53-61.
Rao
A. 2008, Principles and Practice of Pedodontics, 2nd
edition, Jaypee Brothers Medical
Publishers
(P) Ltd, New Delhi, hal. 148.
Singh
G. 2007. Textbook of Orthodontics. 2nd
ed. Jaypee Brothers Medical Puliblisher (P) Ltd.: India. p. 581-2.
Singh
S. 2009. Deleterious Effects Of Oral Habits. Indian Journal of Dental
Sciences. 1(2): 15- 20
The
Academy of Prosthodontics, “The glossary of prosthodontics terms
8th edition,” Journal of Prosthetic Dentistry, vol. 94, no. 1,
pp. 10–29, 2005.
The
Glossary of Prosthodontic Terms. J Prosthet Dent. 2005;94:10-92.
Apa Itu Bruxism?