Oleh: Adi Pratama (06/194916/KG/08073)
Pembimbing 1 : drg. Sri Pramestri Lastianny, MS., Sp. Perio (K)
Pembimbing 2 : drg. Kwartarini M., Sp. Perio (K)., Ph.D.
ABSTRACT
The purpose of this study was to compare the antibacterial activities of 20%, 30%, and 40% ethanolic extract of propolis (EEP) in inhibiting Porphyromonas gingivalis growth.
This study used 20%, 30%, and 40% EEP and 70% ethanolic as a control group. Method that used in this study was agar diffusion test with MHA plate which had swabbed with Porphyromonas gingivalis. Four whells (diameter 6 mm) were made in each plate and then dropped with 50µl 20%, 30%, 40% EEP, and 70% ethanol respectively. The plate were incubated for 48 hours with temperature was put on 30°C. The antibacterial activities of EEP and 70% ethanol solution were showed by the zones of inhibition formation. The zones of inhibition were measured across the diameter using sliding caliper. Statistical analysis was carried out using an one-way ANOVA followed by LSD test of multiple comparison.
The result of this study indicated that 20%, 30%, and 40% EEP solution had antibacterial activities to Porphyromonas gingivalis (p<0,05). There was statistically significant difference between 20%, 30%, and 40% EEP.
Key words: Antibacterial activities, EEP, Porphyromonas gingivalis
INTISARI
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh perbedaan konsentrasi ekstrak etanolik propolis (EEP) 20%, 30%, dan 40% terhadap daya hambat pertumbuhan Porphyromonas gingivalis.
Pada penelitian ini digunakan larutan EEP konsentrasi 20%, 30%, 40%, dan larutan etanol 70% sebagai control. Metode yang digunakan adalah metode difusi sumuran dengan 15 media MHA (Mueller Hinton Agar) yang dioleskan bakteri Porphyromonas gingivalis. Pada tiap media dibuat 4 lubang sumuran berdiameter 6 mm, kemudian EEP konsentrasi 20%, 30%, 40%, dan larutan etanol 70% sebanyak 50µl diteteskan pada tiap sumuran, selanjutnya diinkubasi selama 48 jam pada suhu 37°C. Pengaruh perbedaan konsentrasi EEP 20%, 30%, dan 40% terhadap pertumbuhan Porphyromonas gingivalis dapat diketahui dengan cara membandingkan diameter zona hambatan yang terbentuk pada media MHA, kemudian diukur dengan menggunakan jangka sorong dengan ketelitian 0,02mm. data yang diperoleh dari hasil penelitian dianalisis statistic dengan menggunakan Analisi variansi (Anava) satu jalur dan uji LSD0,05.
Hasil uji Anava menunjukkan bahwa EEP konsentrasi 20%, 30%, dan 40% berpengaruh terhadap pertumbuhan Porphyromonas gingivalis (p<0,05). Uji LDS0,05 menunjukkan terdapat perbedaan yang bermakna (p<0,05) terhadap daya antibakteri antar kelompok perlakuan. Kesimpulan yang diperoleh dari penelitian ini adalah EEP dengan konsentrasi 20%, 30%, dan 40% memiliki daya antibakteri terhadap pertumbuhan Porphyromonas gingivalis, dan terdapat perbedaan daya hambat antara EEP konsentrasi 20%, 30%, dan 40%.
Kata Kunci: Daya antibakteri, EEP, Porphyromonas gingivali
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Permasalahan
Masalah kesehatan terutama kesehatan gigi dan mulut semakin kompleks seiring dengan perkembangan zaman. Hal ini disebabkan oleh banyaknya faktor yang saling berinteraksi di masyarakat yang memicu timbulnya penyakit gigi dan mulut tersebut. Penyakit periodontal merupakan salah satu penyakit gigi dan mulut yang merupakan penyebab utama hilangnya gigi di dalam rongga mulut dan merupakan penyakit yang banyak ditemui di klinik (Sabir, 2005).
Penyakit periodontal merupakan penyakit yang diderita oleh hampir semua manusia di dunia ini dan mencapai 50% dari jumlah populasi dewasa (Newman, dkk., 2006). Di Asia dan Afrika prevalensi dan intensitas penyakit periodontal terlihat lebih tinggi daripada di Eropa, Amerika, dan Australia. Di Indonesia, penyakit periodontal menduduki urutan ke dua utama yang masih merupakan masalah di masyarakat. Penyakit yang menyerang pada gingiva dan jaringan pendukung gigi ini merupakan penyakit infeksi yang serius dan apabila tidak dilakukan perawatan yang tepat dapat mengakibatkan kehilangan gigi (Wahyukundari, 2009) Salah satu penyakit yang sering menyerang jaringan periodontal adalah periodontitis (Situmorang, 2003).
Periodontitis merupakan suatu inflamasi jaringan periodontal yang ditandai dengan migrasi epitel jungsional ke apikal, kehilangan perlekatan, dan puncak tulang alveolar (Fedi dkk, 2005). Penyakit ini dapat bersifat progresif dan irreversible dan dijumpai antara usia 30-40 tahun. Periodontitis tidak dirawat dapat menyebabkan kehilangan gigi. Apabila sampai terjadi kehilangan gigi ini menunjukkan kegagalan dalam mempertahankan keberadaan gigi di rongga mulut yang merupakan tujuan dari pemeliharaan kesehatan gigi dan mulut (Newman dkk., 2006).
Menurut Newman dkk. (2006), periodontitis disebabkan oleh adanya induksi dari 90% bakteri anaerob dan 75% dari bakteri gram negatif. Salah satu bakteri anaerob gram negatif yang berperan dalam pembentukan plak subgingiva penyebab periodontitis adalah Porphyromonas gingivalis. Bakteri ini menghasilkan faktor virulensi pada jaringan periodontal, antara lain merusak imunoglobulin, complement factor, dan mendegradasi perlekatan epitel jaringan periodontal sehingga menimbulkan poket periodontal.
Penumpukan bakteri plak pada permukaan gigi merupakan penyebab utama penyakit periodontal. Penyakit periodontal dimulai dari gingivitis yang bila tidak terawat bisa berkembang menjadi periodontitis yang ditandai dengan terjadinya kerusakan jaringan pendukung periodontal berupa kerusakan fiber, ligamen periodontal, dan tulang alveolar (Wahyukundari, 2009). Pembentukan plak di dalam rongga mulut tidak dapat dicegah dan akumulasinya tidak dapat dihindari. Hal ini cukup menjadi masalah karena akumulasi plak berlebih dapat mengakibatkan gingivitis bahkan hingga periodontitis. Fedi dkk. (2005), menyatakan bahwa jaringan periodontal sehat tidak dapat dicapai tanpa adanya pengendalian plak.
Plak adalah substansi terstruktur, resilien, dan berwarna kuning keabuan yang melekat erat pada permukaan keras di dalam rongga mulut yang mengandung lebih dari 500 spesies bakteri (Newman dkk., 2006). Ketika gigi disikat memakai bahan abrasif seperti pasta gigi, material organik yang terakumulasi pada permukaan gigi akan hilang. Namun ketika gigi berinteraksi dengan saliva, maka akan terbentuk lapisan aseluler dalam beberapa menit yang disebut dengan acquired pellicle. Pelikel yang baru terbentuk akan segera diinvasi oleh bakteri yang berasal dari saliva dan berfusi membentuk massa bakteri yang kompleks, selanjutnya membentuk plak gigi (Eastoe dan Cole, 1977). Meskipun demikian, akumulasi plak bukannya tidak dapat dihambat.
Akumulasi plak dapat dihambat dengan dua cara, yaitu secara mekanik dan secara kimiawi. Secara mekanik plak dapat dicegah dengan menggunakan metode konvensional seperti menyikat gigi. Namun, kelemahan metode ini adalah tidak dapat menghilangkan akumulasi plak pada bagian-bagian tertentu pada jaringan periodontal, misalnya pada daerah sulkus gingiva. Hal ini dapat diatasi dengan mengkombinasikannya dengan menggunakan bahan kimia seperti obat kumur dan larutan irigasi (Newman dkk., 2006). Pada umunya obat kumur dan larutan irigasi yang banyak digunakan mengandung bahan kimia yang sudah terbukti memiliki aktivitas antimikroba dan antiplak (Pizzo, 2006).
Menurut Siswanto (1997), pemanfaatan bahan alam memiliki keunggulan tersendiri dibandingkan dengan bahan kimia. Hal ini dikarenakan bahan alami lebih dapat diterima oleh tubuh dan tersedia banyak di alam. Propolis merupakan salah satu produk alami yang dihasilkan oleh lebah yang dapat bermanfaat sebagai antibakteri, antifungal, dan antivirus (Strehle dkk., 2002)..
Propolis adalah suatu zat yang dihasilkan oleh lebah madu, merupakan campuran dari eksudat tanaman yang dikumpulkan oleh lebah dan dicampurkan dengan air liurnya (Muli dkk., 2008). Namun permasalahannya adalah tidak banyak yang menduga adanya potensi bahan alami yang berasal dari sarang lebah ini dapat berperan sebagai bahan antibakteri bahkan dapat membantu pencegahan penyakit periodontitis.
Dalam beberapa tahun terakhir, manfaat propolis sebagai antibakteri telah banyak diteliti. Farnesi dkk., (2004) melaporkan dalam penelitiannya bahwa propolis mengandung komposisi kimia berupa flavonoid. Komposisi flavonoid dalam propolis tersebut dapat berefek menghambat pertumbuhan bakteri. Walji (2001), menuliskan bahwa propolis memiliki sensitivitas yang lebih tinggi dibandingkan antibiotik penisilin, ampisilin, metisilin, streptomisin, klorampenikol, teramisin, eritromisin, miasin, dan sulfatiazol pada uji coba dengan bakteri staphylococci. Hal ini dipertegas oleh Muli dkk. (2008) yang menyatakan bahwa 30% propolis yang diektrak dengan penambahan etanol dapat menghambat pertumbuhan bakteri Pseudomonas aeruginosa, Salmonella Typhi, Escherichia coli, Staphylococcus aureus dan Bacillus subtilis. Selain itu propolis juga dapat menghambat pertumbuhan jamur Aspergillus niger dan Candida albicans.
Sampai saat ini telah banyak penelitian yang menggunakan propolis untuk menguji daya antibakteri. Namun, belum dilaporkan adanya peneliti yang menggunakan bakteri Porphyromonas gingivalis sebagai subyek dalam penelitian uji daya hambat ekstrak etanolik propolis (EEP). Oleh karena itu, perlu dilakukan penelitian lebih lanjut untuk mengetahui efek EEP terhadap Porphyromonas gingivalis. Konsentrasi yang digunakan untuk uji EEP pada penelitian ini adalah 30%, mengacu pada konsentrasi optimum yang digunakan pada penelitian Muli dkk. (2008) untuk menguji daya hambat propolis. Sebagai konsentrasi pembanding untuk mengetahui perbedaan daya hambat EEP digunakan konsentrasi 20% dan 40%.
B. Perumusan Permasalahan
Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan tersebut di atas, maka diajukan permasalahan, yaitu: apakah terdapat pengaruh perbedaan konsentrasi ekstrak etanolik propolis (EEP) 20%, 30%, dan 40% terhadap daya hambat pertumbuhan Porphyromonas gingivalis?
C. Tujuan Penelitian
Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui pengaruh perbedaan konsentrasi ekstrak etanolik propolis (EEP) 20%, 30%, dan 40% terhadap daya hambat pertumbuhan Porphyromonas gingivalis.
D. Keaslian Penelitian
Muli dkk. (2008) meneliti kemampuan ekstrak etanolik propolis (EEP) sebesar 30% dapat menghambat pertumbuhan Pseudomonas aeruginosa, Salmonella Typhi, Escherichia coli, Staphylococcus aureus and Bacillus subtilis. Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui pengaruh perbedaan konsentrasi ekstrak etanolik propolis (EEP) 20%, 30%, dan 40% terhadap daya hambat pertumbuhan Porphyromonas gingivalis secara in vitro, dan sejauh yang penulis ketahui, penelitian serupa belum pernah dilaporkan.
E. Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan:
1. Salah satu alternatif bahan alami yang dapat digunakan sebagai bahan pembuatan obat kumur dan larutan irigasi,
2. Menjadi dasar acuan penelitian lebih lanjut mengenai konsentrasi optimum daya antibakteri larutan ekstrak etanolik propolis (EEP) terhadap Porphyromonas gingivalis.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Periodontitis
Penyakit periodontal adalah lesi yang mengenai jaringan di sekitar dan penyangga gigi-geligi pada rongga mulut. Secara umum, penyakit ini dapat diklasifikasikan menjadi gingivitis dan periodontitis (Loe,1993). Sculley dan Langley-Evans (2002), melaporkan bahwa penyakit periodontal merupakan penyakit yang sering terjadi pada orang dewasa. Periodontitis merupakan salah satu penyakit jaringan penyangga gigi yang paling luas penyebarannya pada masyarakat dengan prevalensi yang sangat bervariasi (Anastasia, 1993).
Menurut Fedi (2005), periodontitis merupakan suatu inflamasi jaringan periodontal yang ditandai dengan migrasi epitel jungsional ke apikal, serta kehilangan perlekatan dan puncak tulang alveolar. Periodontitis diawali dengan terjadinya inflamasi pada gingiva (gingivitis) yang dapat diakibatkan oleh akumulasi bakteri pada plak (Newman dkk., 2006).
Periodontitis berbeda dengan gingivitis. Pada gingivitis terdapat inflamasi pada gingiva, namun belum terjadi kerusakan pada tulang alveolar (Bellanti, 1993). Sedangkan periodontitis ditandai dengan pembengkakan, hyperemia, dan perdarahan pada gingiva, kegoyahan, ekstrusi, dan terjadi migrasi gigi akibat adanya kerusakan yang menyeluruh, hingga terbentuk pus dan dapat disertai dengan rasa sakit (Newman dkk.,2006). Inflamasi dari jaringan supracrestal serta destruksi dari tulang alveolar dan ligament periodontal dapat menjadi gambaran berbagai bentuk periodontitis (Bjelland dkk., 2002).
Menurut Novak (2002), periodontitis dapat diklasifikasikan menjadi tiga jenis, yaitu chronic periodontitis, aggressive periodontitis, dan periodontitis yang merupakan manifestasi dari penyakit sistemik. Keadaan gingiva pada periodontitis secara klinis digambarkan dengan adanya derajat variasi warna dari biru hingga merah, konsistensinya bervariasi dari lunak dan edematous ke fibrotik, stippling berkurang, gingival tepi membulat, membesarnya ukurang gingival, dan disertai dengan adanya perdarahan pada saat probing, serta ditemukannya poket periodontal, sedangkan gambaran radiografik menunjukkan adanya destruksi jaringan periodontal dan perubahan pada tulang alveolus (Hoang dan Pawlak, 1990).
Terdapat tiga faktor etiologi utama pada penyakit periodontal, yaitu jaringan pejamu, faktor pertahanan pejamu, dan mikroorganisme pada plak. Plak gigi merupakan faktor penting dalam menyebabkan gingivitis, gingivitis pada tahap lanjut akan menyebabkan kerusakan pada jaringan periodontal sehingga akan mengakibatkan periodontitis (Samaranayake, 2002)
B. Plak
Plak gigi merupakan akumulasi mikroba yang kompleks, berwarna kuning keabuan, dengan komposisi utama berupa bakteri yang terdapat pada matriks glikoprotein saliva dan polisakarida ekstraseluler (Rose dan Mealey, 2004). Menurut Eley dan Manson (1993), plak merupakan lapisan bakteri yang lunak, tidak terkalsifikasi, menumpuk dan melekat pada gigi-geligi dan obyek lain pada rongga mulut seperti restorasi, gigi tiruan, dan kalkulus. Satu gram plak (berat kering) mengandung lebih dari 500 spesies bakteri sebanyak 1011 (Newman dkk., 2006).
Plak terdiri dari 70% mikroorganisme dan 30% matriks plak. Matriks plak terdiri dari 80% air dan 20% fraksi padat. Fraksi padat mengandung 45% protein, 15% karbohidrat dan 12% lemak. Protein plak berasal dari bakteri (hyalurodinase, collagenase, dan glucosyltransferase), saliva (amilase, lisosim, laktoferin, laktoperidase, dan IgA), dan cairan sulkus gingiva (albumin dan IgG). Karbohidrat plak terdapat dalam bentuk polisakarida, yaitu homopolisakarida (glukan dan fruktan) dan heteropolisakarida (komponen dinding sel dan lipopolisakarida). Lipid plak berupa fosfolipid (Willet dkk., 1991). Unsur lain yang terdapat pada plak gigi adalah sel epitel, sel darah putih, eritrosit, protozoa, partikel makanan, dan komponen lain seperti fragmen halus sementum dan fragmen sel (Fedi dkk., 2000). Selain itu, plak gigi juga mengandung mikroorganisma nonbakteria, seperti spesies Mycoplasma, jamur, protozoa, dan virus (Samaranayake, 2002).
Keberadaan plak gigi secara klinis sangat penting karena merupakan faktor utama penyebab terjadinya penyakit pada jaringan periodontal (Rose dan Mealey, 2004). Menurut Fedi dkk. (2000), plak dibagi menjadi 2 tipe utama. Yang pertama yaitu plak yang terdiri dari mikroorganisma yang padat, menumpuk, berkolonisasi, tumbuh dan melekat pada permukaan gigi. Tipe plak ini dapat berupa plak supragingiva atau plak subgingiva. Tipe yang kedua adalah plak subgingiva yang bebas atau yang tidak erat perlekatannya dengan permukaan gigi.
Eley dan Manson (2004) mengklasifikasikan plak gigi ke dalam 2 jenis, yaitu plak supragingiva yang didapatkan di atas atau pada tepi gingiva maupun plak gigi subgingiva yang berada di bawah tepi gingiva yang terletak di antara gigi dan epitel poket gingiva.
Mikroba yang ditemukan pada plak subgingiva berbeda dari mikroba yang ada pada plak supragingiva karena kemampuan daerah subgingiva untuk memproduksi darah dengan adanya potensi reduksi-oksidasi yang rendah sehingga menyebabkan daerah subgingiva menjadi anaerob. Secara klinis, plak subgingiva sulit terlihat karena tertutup celah gingiva atau poket periodontal (Newman dkk., 2006).
Plak gigi akan terbentuk dari malam hari dan akan terlihat pada pagi hari. Plak akan tampak lebih banyak pada saat berpuasa daripada setelah makan (Eastoe dan Cole, 1977). Plak supragingiva dan plak subgingiva merupakan lapisan biofilm yang menyediakan perlindungan bagi bakteri dengan membentuk matriks glikokaliks, sehingga melindungi mikroba dari bahaya lingkungan sekitarnya. Polisakarida ekstraseluler dari glikokaliks berberat molekul tinggi sehingga bersifat tidak larut. Oleh karena itu biofilm sangat sukar untuk dihilangkan. Biofilm juga menyediakan nutrisi bagi bakteri, sehingga menguntungkan bakteri untuk memperoleh nutrisi yang penting bagi pertumbuhannya (Newman dkk., 2006).
Pembentukan plak terjadi secara terus-menerus, dimulai dengan adanya pembentukan pelikel pada gigi yang berasal dari saliva (Eastoe dan Cole, 1977). Pelikel merupakan deposit dengan lapisan yang tipis (0,5 µm), translusen, halus, tidak berwana, dan terbentuk beberapa detik setelah menyikat gigi. Komponen utama pelikel adalah glikoprotein (musin) yang terdapat pada permukaan gigi dan restorasi (Eley dan Manson, 2004). Selain glikoprotein, pelikel juga mengandung protein kaya prolin, fosfoprotein (statherin) dan protein yang kaya histidin. Mengandung pula enzim misalnya α-amilase, kolagenase, hialuronidase, kondrotinase, dan protase, serta molekul lain yang dapat berfungsi sebagai tempat perlekatan bakteri (Fedi dkk., 2000; Newman dkk., 2006).
Setelah pelikel terbentuk, tahap selanjutnya adalah inisiasi adhesi dan perlekatan bakteri. Pada fase ini terdapat 4 tahap, yaitu transpor bakteri pada permukaan gigi, inisiasi adhesi, perlekatan bakteri, serta kolonisasi permukaan dan pembentukan biofilm. Bakteri dapat berpindah melalui gerakan Brownian, sedimentasi mikroorganisma, aliran cairan, maupun gerakan aktif dari bakteri itu sendiri (kemotaksis). Inisiasi adhesi terjadi akibat adanya ikatan Van der Walls antara bakteri dan permukaan gigi yang bersifat reversible (Newman dkk., 2006).
Data epidemiologi mengindikasikan adanya hubungan antara plak dengan prevalensi dan keparahan penyakit periodontal. Penyakit periodontal dapat disebabkan oleh bakteri pada plak gigi (Samaranayake, 2002). Menurut Newman dkk. (2006), pada awal pembentukan, bakteri yang mendominasi plak gigi adalah bakteri Streptococcus dan Actinomycetes. Setelah itu terjadi kolonisasi sekunder oleh P.intermedia, P.loescheii, Capnocytophaga sp., Fusobacteriun nucleatum, dan Porphyromonas gingivalis yang beradhesi dengan bakteri yang telah menempel pada massa plak awal.
Bertambahnya jumlah bakteri anaerob pada sulkus periodontal dapat mengindikasikan perkembangan periodontitis menjadi kronis. Salah satu bakteri anaerob yang berperan dalam inisiasi dan perkembangan periodontitis adalah bakteri Porphyromonas gingivalis (Kozarov dkk., 2005).
C. Porphyromonas gingivalis
Sistematika Porphyromonas gingivalis menurut Boone, D. R. dan Castenholtz, R. W. (2002), adalah sebagai berikut:
Phylum : Bacteroidetes
Class : Bacteroidetes
Orde : Bacteroisales
Family : Porphyromonadaceae
Genus : Porphyromonas
Species : Porphyromonas gingivalis
Genom Porphyromonas merupakan bakteri anaerob gram negatif, tidak membentuk spora, tidak memiliki alat gerak, dan bersifat non motil. Menurut Jawetz dkk. (1991), media yang baik untuk sebagian besar bakteri anaerob dan dapat digunakan untuk uji sensitivitas antibakteri adalah Mueller Hinton Agar (MHA). Koloni dapat berubah dari menit ke menit hingga diameter 3,0 mm dan warnanya mulai menggelap dari tepi ke arah pusat setelah 6-10 hari. Terkadang, koloni berubah menjadi hitam akibat produksi yang berlebih dari protohaem. Temperatur maksimal untuk pertumbuhan adalah 37°C dan dipengaruhi oleh adanya karbohidrat. Substrat nitrogen seperti proteose pepton, trypticase dan ekstrak yeast dengan nyata dapat meningkatkan pertumbuhan. Produk fermentasi yang utama dari media yang terkandung substrat ini adalah n-butyric, propionik dan asam asetat dengan tingkat yang lebih rendah untuk isobutil, iso valeric, suksinat dan asam fenilasetat. (Leslie dkk., 1998; Morrison dkk., 1999; Irfan dkk., 2001).
Porphyromonas gingivalis merupakan bakteri yang berbentuk coccobacilli dengan panjang 0,5-2 μm. Apabila dibiakkan pada agar darah, maka koloni akan tampak lembut, berkilauan dan terlihat cembung serta 1-2 mm di dalam garis tengah dan menggelap dari tepi koloni ke pusat diantara 4-8 hari. Koloni yang tidak berpigmen kadang terjadi (Leslie dkk., 1998). Pertumbuhannya dipengaruhi oleh adanya protein hydrolysates, seperti trypticase, proteose peptone dan ekstrak yeast. Pertumbuhannya dapat ditingkatkan dengan adanya 0,5 – 0,8 % NaCl dalam darah. Produk fermentasi yaang utama adalah n-butirat dan asam asetat. Untuk tingkat yang lebih rendah juga diproduksi asam propionat, iso-butirat, fenilasetat, dan isovaleric. Cysteine proteinases dan kolagenase juga diproduksi. (Bramanti dkk.,1989). Dinding sel peptidoglycan mengandung lisin sebagai asam diamino. Kedua-duanya 3-hydroxylated fatty acid dan non-hydroxylated terdapat di dalamnya.Untuk nonhydroxylated terdiri atas sebagian besar iso-methyl yang bercabang, dengan iso-C15:0 asam yang mendominasi (Farquhason dkk., 2000).
Analisis genomenya menyatakan bahwa Porphyromonas gingivalis dapat me-metabolisme asam amino dan menghasilkan sejumlat metabolit atau produk akhir, di mana metabolit tersebun bersifat racun (toxic) terhadap jaringan gingival pada manusia. Selain itu berpengaruh terhadap perkembangan suatu penyakit periodontal (Naito dkk., 2008)
Kolonisasi sekunder dari plak subgingiva merupakan awal dari patogenesis Porphyromonas gingivalis pada jaringan periodontal. Hal ini ditandai dengan bergantinya flora subgingiva dari bakteri aerob gram positif menjadi bakteri anaerob gram negatif. Porphyromonas gingivalis merupakan patogen jaringan periodontal yang agresif. Fimbria yang dimiliki Porphyromonas gingivalis memungkinkan terjadinya adhesi, dan kapsulnya dapat mencegah terjadinya proses fagositosis. Spesies ini memproduksi faktor-faktor virulensi, seperti protease yang dapat mendestruksi immunoglobulin, faktor komplemen, dan heme-sequestering protein. Selain protease, Porphyromonas gingivalis juga memproduksi hemolisin dan kolagenase. Bakteri ini dapat menghambat migrasi leukosit PMN dan menginvasi jaringan lunak. Efek lanjut dari invasi Porphyromonas gingivalis pada jaringan periodontal dapat menimbulkan migrasi epitel jungsional dan pada tahap lanjut dapat terjadi kehilangan perlekatan dan puncak tulang alveolar (Kumar dkk., 2003; Newman dkk., 2006). Enzim proteolitik seperti Arg-gingipain (Rgp) dan Lys-gingipain (Kgp) yang dihasilkan Porphyromonas gingivalis dapat menurunkan sistem pertahanan pada jaringan periodontal, sehingga keadaan jaringan periodontal yang terserang akan semakin parah. Apabila pertumbuhan bakteri ini tidak dapat dicegah dapat berpotensi luas dalam menimbulkan keadaan telepasnya gigi dari soketnya (Fedi dkk., 2005; Amano, 2007)
Banyak cara yang dapat dilakukan untuk menghambat pertumbuhan bakteri patogen pada rongga mulut. Salah satunya dengan cara mengaplikasikan zat antibakteri.
D. Antibakteri
Antibakteri adalah setiap bahan yang menghancurkan dan menghambat pertumbuhan bakteri (Harty dan Ogston, 1995). Menurut Pelczar dan Chan (1988), antibakteri merupakan bahan yang dapat mengganggu pertumbuhan dan metabolisme bakteri. Antibakteri yang ideal menunjukkan toksisitas yang selektif (Brooks dkk., 1996), artinya bahwa bahan antibakteri berbahaya bagi parasit dan tidak membahayakan bagi manusia karena sel parasit dengan sel manusia memiliki perbedaan dalam hal dinding sel, komponen membran sel, struktur ribosom, dan metabolismenya. Daya antibakteri merupakan kemampuan suatu bahan antibakteri alami atau sintetik dalam menghambat dan membunuh pertumbuhan mikroorganisma (Madigan dkk., 2003).
Berdasarkan sifatnya, Pelczar dan Chan (1988) membagi antibakteri menjadi dua jenis, yaitu bakteriostatik dan bakterisid. Antibakteri yang bersifat menghambat pertumbuhan bakteri tanpa terjadinya lisis sel bakteri, dikenal sebagai aktivitas bakteriostatik, dan ada yang bersifat membunuh bakteri dengan melisiskan dan merusak sel, dikenal sebagai aktivitas bakterisid atau bakteriolisis (Setiabudy dan Gan, 1995; Madigan dkk., 2003).
Bahan yang digunakan untuk membasmi mikroba penyebab infeksi pada manusia harus mempunyai sifat toksisitas selektif tinggi yaitu bahan tersebut toksik terhadap mikroba tetapi relatif tidak toksik terhadap hospes (Gan, 1987). Kadar minimal yang diperlukan untuk menghambat pertumbuhan bakteri atau membunuhnya, masing-masing dikenal sebagai kadar hambat minimal (KHM) dan kadar bunuh minimal (KBM). Antibakteri tertentu aktivitasnya dapat meningkat dari bakteriostatik menjadi bakterisid bila kadar antibakterinya ditingkatkan melebihi KHM (Setiabudy dan Gan, 1995).
Ada beberapa istilah lain yang biasa digunakan dalam hubungannya dengan zat antibakteri dan manfaatnya, antara lain: 1) steril, bebas dari kehidupan apapun. Sterilisasi dapat dicapai dengan penyaringan (untuk cairan atau udara) atau melalui bantuan zat pembunuh mikroorganisme; 2) disinfektan, merupakan zat kimia yang digunakan untuk mematikan mikroorganisme pada permukaan, tetapi terlalu beracun untuk dipakai langsung pada jaringan; 3) septik, ditandai dengan adanya bakteri patogen dalam jaringan hidup; dan 4) aseptik, ditandai dengan tidak adanya bakteri patogen (Brooks dkk., 1996).
Faktor-faktor yang dapat mempengaruhi daya antibakteri menurut Pelczar dan Chan (1988), adalah sebagai berikut: 1) konsentrasi zat antibakteri, semakin tinggi konsentrasi semakin banyak jumlah bakteri yang terbunuh; 2) jumlah bakteri, diperlukan waktu untuk membunuh sel bakteri, dan bila jumlah selnya banyak, maka perlakuan harus lebih lama untuk membunuh semua sel tersebut, dan 3) spesies bakteri, spesies bakteri mempunyai kepekaan yang berbeda-beda terhadap pengaruh fisik dan bahan kimia.
Berdasarkan mekanisme kerjanya, antibakteri dibagi dalam lima kelompok: 1) menggangu metabolisme sel bakteri; 2) menghambat sintesis dinding sel bakteri; 3) mengganggu permeabilitas membran sel bakteri; 4) menghambat sintesis protein sel bakteri; dan 5) menghambat sintesis atau merusak asam nukleat sel bakteri (Setiabudy dan Gan, 1995). Salah satu produk alam yang dihasilkan oleh lebah yang dapat berkhasiat sebagai antibakteri adalah propolis (Koo dkk., 2002).
E. Propolis
Propolis merupakan campuran bersifat resin yang dikumpulkan dari tumbuhan oleh lebah madu (Apis mellifera), yang digunakan untuk bahan perlindungan dan menjaga kesehatan dan higinis dalam sarang (Burdock, 1998). Propolis digunakan sebagai penutup retakan dan lubang yang terdapat pada sarang lebah serta bermanfaat sebagai pelindung sarang lebah (Soerodjotanojo, 1980 cit. Horax, 2000). Beberapa jenis lebah juga menggunakan propolis untuk mempersempit sarang sehingga tidak mudah dimasuki oleh hewan lain (Hay dan Greig, 1990).
Propolis memiliki warna yang bervariasi mulai dari warna coklat muda, coklat tua, kuning kemerahan, hijau tua, hingga coklat kehitaman. Bervariasinya warna propolis sangat ditentukan darimana bahan propolis itu dikumpulkan (Steinberg dkk., 1996). Pada suhu 25°-40° C propolis bertekstur lunak, lentur dan sangat lengket, diatas suhu 45° C akan semakin lengket dan bergetah. Sedangkan dibawah suhu 15° C atau dalam keadaan beku, propolis bertekstur rapuh dan getas. Titik leleh propolis berkisar pada 60°-70° C. Secara kimiawi propolis bersifat tidak larut dalam air dan larut sebagian dalam alkohol, potroleum eter, aseton, dan kloroform (Steinberg dkk., 1996; Salatino dkk., 2005). Namun, pelarut propolis yang paling banyak digunakan adalah etanol (Muli dkk, 2008; Farnesil, 2009; Syamsudin, 2009).
Di dalam propolis terkandung sedikitnya 180 senyawa kimia. Komponen utama penyusun propolis adalah flavonoid, senyawa fenol, dan ester. Terdapat sedikitnya 38 jenis flavonoid yang terkandung di dalam propolis, diantaranya galangin, kaemferol, quercetin, pinocembrin, pinostrobin, dan pinobanksin (Dingens, 2001). Flavonoid merupakan salah satu senyawa golongan fenol yang mempunyai suatu aksi fisiologis dalam menghambat pertumbuhan bakteri (Harbourne, 1976).
Flavonoid memiliki aktivitas antibakteri dengan cara membentuk senyawa kompleks dengan protein melalui ikatan hydrogen yang terdapat pada dinding maupun protoplasma bakteri (Cowan, 1999). Flavonoid mampu berinteraksi dengan DNA bakteri, hasil interaksi tersebut menyebabkan rusaknya permeabilitas dinding sel bakteri, mikrosom, dan lisosom. Hal ini disebabkan oleh adanya ion hidroksil yang secara kimia menyebabkan perubahan komponen organik dan transport nutrisi sehingga menimbulkan efek sitotoksik terhadap sel bakteri dan menyebabkan rusaknya sel bakteri secara tetap dan tidak dapat diperbaiki lagi hingga menyebabkan kematian sel bakteri (Etrela dkk., 1995; Bankova dkk., 1993). Penelitian Muli dkk. (2008), membuktikan bahwa efek flavonoid yang terkandung dalam ekstrak EEP 30% dapat menghambat pertumbuhan bakteri Pseudomonas aeruginosa, Salmonella Typhi, Escherichia coli, Staphylococcus aureus dan Bacillus subtilis.
Secara farmakologis propolis mempunyai peranan penting dan dapat digunakan sebagai anti-inflammasi dan zat hipotensif, stimulan sistem immunitas, zat bakterisida dan bakteriostatik serta memiliki khasiat untuk menyembuhkan dan menjaga kesehatan tubuh (Koo dkk., 2002). Menurut Kaal (1991), propolis mempunyai karakteristik antara lain: 1) kemampuan untuk membunuh atau menghentikan pertumbuhan sejumlah tipe bakteri; 2) bersifat antimikotik; 3) bersifat anestetik; 4) efektif terhadap infeksi virus; 5) sangat efektif mencegah dan merawat inflamasi; 6) menstimulasi sistem imun dan meningkatkan resistensi terhadap penyakit infeksi.
F. Uji Daya Antibakteri
Uji kepekaan bakteri dilakukan untuk mengetahui kadar terkecil suatu obat atau zat yang dapat menghambat pertumbuhan bakteri secara in vitro. Penelitian dilakukan secara in vitro agar dapat ditentukan potensi zat antibakteri, konsentrasi, dan kepekaan bakteri terhadap konsentrasi zat-zat tertentu. Uji kepekaan ini dapat dikerjakan dengan menggunakan metode dilusi maupun metode difusi (Jawetz dkk., 2001). Pengukuran daya hambat minimum pada metode dilusi dapat diketahui melalui konsentrasi bahan antibakteri minimum pada medium yang tidak terdapat pertumbuhan bakteri sedangkan metode difusi melalui besar diameter zona hambat bakteri yang terbentuk (Madigan dkk., 2003).
Metode difusi paling banyak dipakai untuk menentukan kepekaan bakteri terhadap suatu obat atau bahan, dan biasanya diindikasikan untuk bakteri anaerob. Metode ini dipengaruhi banyak faktor disamping interaksi antara obat dan bakteri (misalnya sifat perbenihan, daya difusi, ukuran molekul dan stabilitas obat). Pada media agar dibuat lubang sumuran dengan garis tengah tertentu menurut kebutuhan. Pada sumuran tersebut ditetesi larutan antibakteri yang digunakan, kemudian diinkubasi pada suhu 37°C selama 18-24 jam. Hasilnya dibaca dengan melihat zona hambatan, yaitu daerah jernih disekitar sumuran yang sama sekali tidak ditemukan adanya pertumbuhan bakteri. Pembacaan hasil diperoleh dengan menghitung diameter zona hambatan yang terbentuk disekitar sumuran (Jawetz dkk., 1991).
Kelemahan metode difusi adalah metode ini tidak dapat menentukan apakah suatu obat bersifat bakterisid dan bakteriostatik. Akan tetapi, metode difusi relatif sederhana, tidak mahal dan sering digunakan bila fasilitas laboratorium yang memadai tidak tersedia (Tortora dkk., 2001).
BAB III
LANDASAN TEORI DAN HIPOTESIS
A. Landasan Teori
Periodontitis merupakan suatu inflamasi jaringan periodontal yang ditandai dengan migrasi epitel jungsional ke apikal, kehilangan perlekatan dan puncak tulang alveolar. Penyakit periodontal dimulai dari gingivitis yang bila tidak terawat bisa berkembang menjadi periodontitis. Penumpukan bakteri plak pada permukaan gigi merupakan penyebab utama penyakit periodontal.
Plak adalah substansi terstruktur, resilien, dan berwarna kuning keabuan yang melekat erat pada permukaan keras di dalam rongga mulut yang mengandung lebih dari 500 spesies bakteri. Plak dapat terakumulasi di supragingiva dan subgingiva. Plak terbentuk secara teratur dan mulai terakumulasi dalam waktu satu jam setelah dibersihkan.
Salah satu bakteri pembentuk plak dan merupakan bakteri yang dominan dalam terjadinya periodontitis adalah Porphyromonas gingivalis. Bakteri ini menghasilkan faktor virulensi pada jaringan periodontal, antara lain merusak imunoglobulin, complement factor, dan mendegradasi perlekatan epitel jaringan periodontal sehingga timbulnya poket periodontal. Porphyromonas gingivalis dapat me-metabolisme asam amino dan menghasilkan sejumlah metabolit atau produk akhir, di mana metabolit tersebut bersifat racun (toxic) terhadap jaringan gingiva pada manusia. Selain itu berpengaruh terhadap perkembangan suatu penyakit periodontal.
Penumpukan bakteri plak merupakan penyebab utama penyakit periodontal. Plak dapat dihilangkan dengan cara konvensional seperti menyikat gigi. Namun cara ini hanya dapat menghilangkan plak supragingiva dan tidak efektif dalam menghilangkan plak subgingiva. Untuk itu perlu dikombinasi dengan menggunakan obat kumur dan larutan irigasi. Pada umumnya obat kumur dan larutan irigasi yang banyak digunakan mengandung bahan kimia yang sudah terbukti memiliki aktivitas antibakteri.
Propolis merupakan suatu bahan alami bersifat antibakteri yang dapat digunakan sebagai salah satu alternatif bahan pembuatan obat kumur dan larutan irigasi. Keunggulan dari bahan alami adalah bahan tersebut lebih dapat diterima oleh tubuh dan tersedia banyak di alam.
Propolis adalah suatu zat yang dihasilkan oleh lebah madu, merupakan campuran dari eksudat tanaman yang dikumpulkan oleh lebah dan dan dicampurkan dengan air liurnya. Di dalam propolis terkandung bahan kimia berupa flavonoid. Bahan kimia tersebut dapat berperan sebagai sntibakteri, antifungi, dan antivirus. Flavonoid mampu berinteraksi dengan DNA bakteri, hasil interaksi tersebut menyebabkan rusaknya permeabilitas dinding sel bakteri, mikrosom, dan lisosom. Hal ini disebabkan oleh adanya ion hidroksil yang secara kimia menyebabkan perubahan komponen organik dan transport nutrisi sehingga menimbulkan efek sitotoksik terhadap sel bakteri dan menyebabkan rusaknya sel bakteri secara tetap dan tidak dapat diperbaiki lagi hingga menyebabkan kematian sel bakteri.
Banyak faktor yang dapat berpengaruh terhadap efektivitas daya antibakteri suatu bahan. Salah satu faktor yang mempengaruhi efektivitas daya antibakteri suatu bahan adalah konsentrasi. Suatu bahan akan menunjukkan efektivitas daya antibakteri yang berbeda apabila memiliki konsentrasi yang berbeda.
B. Hipotesis
Berdasarkan landasan teori yang dikemukakan, dapat disusun suatu hipotesis bahwa terdapat pengaruh perbedaan konsentrasi ekstrak etanolik propolis (EEP) 20%, 30%, dan 40% terhadap daya hambat pertumbuhan Porphyromonas gingivalis.
BAB IV
METODE PENELITIAN
A. Jenis Penelitian
Jenis penelitian yang dilakukan adalah penelitian eksperimental laboratories.
B. Identifikasi Variabel
1. Variabel pengaruh
Ekstrak etanolik propolis (EEP) dengan konsentrasi 20%, 30%, dan 40%
2. Variabel terpengaruh
Anagka bakteri Porphyromonas gingivalis
3. Variabel terkendali
a. Bakteri Porphyromonas gingivalis
b. Jenis media kultur MHA
c. Suhu pengeraman 37 °C
d. Lama pengeraman 48 jam
e. Konsentrasi bakteri 108 CFU/ml
f. Volume larutan pada tiap tabun 3 ml
g. Diameter lubang sumuran 6 mm
h. Volume larutan pada tiap sumuran 50 μl
i. Suhu ruangan laboratorium
C. Definisi Operasional
1. Ekstrak etanol propolis (EEP) adalah bahan yang mempunyai aktivitas antibakteri, didapat dari pengenceran larutan propolis dengan menggunakan larutan etanol sehingga didapatkan konsentrasi yang diinginkan. Pada penelitian ini digunakan EEP dengan konsentrasi 20%, 30%, dan 40%
2. Angka bakteri Porphyromonas gingivalis adalah luas pertumbuhan bakteri Porphyromonas gingivalis pada media MHA. Zona hambat pertumbuhan Porphyromonas gingivalis ditunjukkan dengan adanya zona yang tampak bening di sekitar lubang sumuran dan zona tersebut tidak ditemukan adanya pertumbuhan bakteri.
D. Subyek Penelitian
Subyek penelitian yang digunakan pada penelitian ini adalah bakteri Porphyromonas gingivalis hasil biakan murni Laboratorium Mikrobiologi BLK
E. Alat dan Bahan Penelitian
1. Alat penelitian
a. Autoklaf untuk sterilisasi alat .
b. Lampu spiritus untuk mensterilkan ose dan ujung tabung reaksi.
c. Inkubator sebagai tempat pengeraman bakteri Porphyromonas gingivalis.
d. Anaerobic Jar untuk menciptakan suasana anaerob bagi bakteri .
e. Cawan petri sebagai tempat media MHA .
f. Ose untuk mengambil koloni bakteri.
g. Mikropipet untuk mengambil larutan uji dan larutan kontrol .
h. Tabung reaksi dan rak tabung reaksi .
i. Kapas lidi steril untuk mengoleskan suspensi bakteri pada media MHA.
j. Perforator sebagai alat pelubang media untuk membuat sumuran pada media agar.
k. Jangka sorong dengan ketelitian 0,02 mm untuk mengukur diameter zona hambatan.
2. Bahan penelitian
a. EEP dengan konsentrasi 20%, 30%, dan 40% .
b. Larutan etanol 70% sebagai kontrol dan pengencer propolis
c. Sediaan bakteri Porphyromonas gingivalis.
d. Media agar MHA untuk media pertumbuhan koloni bakteri .
e. Media cair Brain Heart Infusion (BHI) sebagai media pembiakan bakteri.
F. Jalanya Penelitian
1. Pengenceran larutan propolis
Pengenceran Propolis dilakukan di Laboratorium Fakultas Kedokteran Hewan UGM Yogyakarta. Larutan propolis yang digunakan sebagai larutan induk memiliki konsentrasi 60% dengan larutan pembawa berupa etanol (Yi Wang Honey Garden, Selangor, Malaysia). Propolis dapat digunakan dalam berbagai konsentrasi melalui pengenceran terlebih dahulu berdasarkan rumus : (Wilbraham dan Matter, 1999)
Pada tabung pertama, dibuat EEP konsentrasi 20% yang diperoleh dari 1 ml EEP 60% (larutan induk) diencerkan dengan etanol 70% hingga menjadi 3 ml. Pada tabung kedua, dibuat EEP konsentrasi 30% yang diperoleh dari 1,5 ml EEP 60% (larutan induk) diencerkan dengan etanol 70% hingga menjadi 3 ml. Pada tabung ketiga, dibuat EEP konsentrasi 40% yang diperoleh dari 2 ml EEP 60% (larutan induk) diencerkan dengan etanol 70% hingga menjadi 3 ml. sedangkan pada tabung keempat, dimasukkan larutan etanol 70% sebagai kontrol sebanyak 3 ml. EEP konsentrasi 20%, 30%, 40% dan larutan kontrol mempunyai volume yang sama pada tiap tabung yakni sebanyak 3 ml.
2. Pembuatan suspensi bakteri Porphyromonas gingivalis
Pembuatan suspensi bakteri dibuat sesuai dengan standar Brown III 108 CFU/ml. Suspensi dibuat dengan mengambil beberapa ose biakan murni bakteri Porphyromonas gingivalis pertumbuhan 48 jam pada media dengan menggunakan ose steril dan dilarutkan dalam 10 ml media cair BHI pada tabung reaksi. Suspensi tersebut diinkubasi dalam inkubator selama 48 jam pada suhu 37oC.
3. Inokulasi bakteri pada media agar
Suspensi bakteri Porphyromonas dioleskan merata pada permukaan media agar MHA (MHA plate) dalam cawan petri dengan menggunakan kapas lidi steril. Kemudian dibuat 4 buah lubang sumuran menggunakan perforator dengan diameter 6 mm yang akan diisi larutan uji.
4. Uji daya antibakteri
EEP yang telah dibuat tiga konsentrasi, yaitu 20%, 30%, dan 40% diteteskan dengan mikropipet sebanyak 50 μl pada setiap lubang sumuran pada cawan petri dan satu lubang sumuran ditetesin 50 μl larutan etanol 70% sebagai kelompok kontrol. Media yang telah ditetesi dengan larutan uji dimasukkan ke dalam anaerobic jar, kemudian diinkubasi dalam inkubator selama 48 jam pada suhu 37oC supaya terjadi pertumbuhan koloni.
5. Pembacaan hasil
Hasil dibaca setelah diinkubasi selama 48 jam pada suhu 37oC dengan mengukur zona hambatan yaitu daerah bening disekeliling sumuran yang tidak terdapat pertumbuhan koloni bakteri. Pengukuran zona hambatan yaitu dengan mengambil dua garis yang saling tegak lurus melalui titik pusat sumuran (o) serta satu garis bersudut 45o terhadap garis AB atau CD melalui titik pusat sumuran yang sama dengan AB atau CD. Pengukuran pertama menggunakan diameter zona hambatan (AB) dikurangi diameter lubang sumuran (ab) kemudian hasilnya dibagi dua. Pengukuran kedua menggunakan diameter zona hambatan (CD) dikurangi diameter lubang sumuran (cd) kemudian hasilnya dibagi dua. Pengukuran ketiga menggunakan diameter zona hambatan (EF) dikurangi diameter lubang sumuran (ef) kemudian hasilnya dibagi dua. Hasil akhir dari pengukuran zona hambatan adalah pengukuran pertama ditambah dengan pengukuran kedua ditambah pengukuran ketiga kemudian hasilnya dibagi tiga (Juni dan Tandelilin, 2000).
G. Analisis Data
Data yang diperoleh dari hasil penelitian ini dilakukan uji normalitas untuk mengetahui apakah sampel yang diambil berasal dari populasi yang terdistribusi normal dan uji homogenitas untuk mengetahui apakah sampel yang diambil homogen. Kemudian untuk mengetahui pengaruh perbedaan efektivitas ekstrak etanolik propolis (EEP) terhadap angka bakteri Porphyromonas gingivalis dilakukan uji statistik analisis variansi (Anava) satu jalur, kemudian dilanjutkan dengan uji Least Significant Different (LSD) untuk mengetahui signifikansi perbedaan daya antibakteri ekstrak etanol propolis terhadap pertumbuhan bakteri Porphyromonas gingivalis antara kelompok perlakuan. Tingkat kepercayaan yang digunakan dalam analisis statistik hasil penelitian adalah sebesar 95% (α = 0,05).
BAB V
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Hasil Penelitian
Telah dilakukan penelitian secara in vitro yang bertujuan untuk mengetahui perbedaan konsentrasi EEP konsentrasi 20%, 30%, dan 40% terhadap daya hambat pertumbuhan Porphyromonas gingivalis dengan menggunakan metode difusi. Pengujian efektivitas daya hambat EEP ini dilakukan di Laboratorium Mikrobiologi Fakultas Kedokteran Hewan UGM Yogyakarta. Daya antibakteri ditunjukkan dengan adanya zona yang tampak bening di sekitar lubang sumuran dan pada zona tersebut tidak ditemukan adanya pertumbuhan bakteri.
Diameter zona hambatan pada media Mueller Hinton Agar (MHA) setelah pemberian larutan EEP dengan konsentrasi 20%, 30%, 40%, dan larutan etanol 70% (kontrol) dapat dilihat pada gambar 5. Berdasarkan penelitian ini diketahui bahwa lubang sumuran yang diisi dengan larutan EEP dengan konsentrasi 20%, 30%, dan 40% menunjukkan adanya zona hambatan yang terbentuk di sekeliling lubang sumuran, sedangkan pada larutan etanol 70% (kontrol) tidak terlihat adanya zona hambatan. Hal tersebut menunjukkan bahwa larutan EEP konsentrasi 20%, 30%, dan 40% memiliki daya hambat terhadap bakteri Porphyromonas gingivalis sedangkan larutan etanol 70% tidak terlihat zona hambat.
Diameter zona hambatan yang terbentuk pada media MHA kemudian diukur dengan menggunakan jangka sorong dengan ketelitian 0,02 mm. Setiap satu sumuran dilakukan pengukuran sebanyak 3 kali kemudian hasilnya di rata-rata. Hasil pengukuran diameter zona hambatan pertumbuhan Porphyromonas gingivalis setelah pemberian larutan uji dapat dilihat di Tabel I.
Tabel I. Rerata diameter zona hambatan EEP konsentrasi 20%, 30%, dan 40% serta larutan etanol 70% (dalam satuan mm)
Perlakuan
|
N
|
x
|
SD
|
EEP 20%
EEP 30%
EEP 40%
Etanol 70% (kontrol)
|
15
15
15
15
|
3,30
4,78
3,73
0,00
|
0,33
0,22
0,28
0,00
|
Keterangan:
n : jumlah sampel
x : rerata daya hambat larutan EEP setiap konsentrasi
SD : standard deviation (simpangan baku)
Berdasarkan tabel I dapat diketahui bahwa rerata diameter zona hambatan terhadap pertumbuhan Porphyromonas gingivalis yang terbentuk pada EEP konsentrasi 30% mempunyai nilai terbesar dibandingkan dengan rerata diameter zona hambatan yang terbentuk pada konsentrasi 20% dan 40% sedangkan pada larutan etanol 70% (kontrol) tidak menunjukkan adanya zona hambatan (0,00 mm). Hal ini menunjukkan bahwa rerata diameter zona hambatan EEP konsentrasi 30% (4,78 mm) lebih tinggi dibanding rerata diameter zona hambatan EEP konsentrasi 20%, 40%, serta larutan etanol 70%.
Data yang diperoleh pada tabel I kemudian dianalisis dengan menggunakan Anava satu jalur untuk mengetahui adanya perbedaan efektivitas daya antibakteri antara larutan EEP konsentrasi 20%, 30%, dan 40% (tabel IV). Sebelum dilakukan uji Anava, terlebih dahulu dilakukan uji normalitas (tabel II) untuk mengetahui apakah sampel yang diambil berasal dari populasi yang terdistribusi normal dan uji homogenitas (tabel III) untuk mengetahui apakah sampel yang diambil homogen.
Tabel II. Tes Normalitas zona Hambat EEP 20%, 30%, dan 40%
Konsentrasi
|
Shapiro-Wilk
|
20%
30%
40%
|
0,929
0,912
0,900
|
15
15
15
|
0,263
0,145
0,095
|
Uji normalitas (tabel II) diameter zona hambatan pada larutan uji dan kontrol menunjukkan probabilitas lebih dari 0,05 (p>0,05) yang berarti data tersebut terdistribusi normal.
Tabel III. Tes Homogenitas zona Hambat EEP 20%, 30%, dan 40%
Levean Statistic
|
Df1
|
Df2
|
Sig.
|
0,685
|
2
|
42
|
0,509
|
Uji homogenitas (tabel III) diameter zona hambatan pada larutan uji dan kontrol memiliki probabilitas sebesar 0,509 (p>0,05) yang berarti data tersebut homogen. Setelah diketahui data terdistribusi normal dan homogen maka dapat dilakukan uji Anava satu jalur.
Tabel IV. Hasil uji Anava satu jalur terhadap rerata diameter zona hambatan EEP konsentrasi 20%, 30% dan 40%
Sumber variansi
|
JK
|
db
|
RK
|
F
|
p
|
Antar kelompok
|
21,250
|
2
|
10,625
|
128,640
|
0,000
|
Dalam kelompok
|
3,469
|
42
|
0,083
|
Total
|
24,719
|
44
|
|
|
|
Keterangan :
JK : jumlah kuadrat
db : derajat bebas
RK : rerata kuadrat
F : F hitung
P : probabilitas
Hasil uji statistik Anava satu jalur menunjukkan bahwa terdapat perbedaan efektivitas daya antibakteri yang bermakna antara EEP konsentrasi 20%, 30%, dan 40% terhadap diameter zona hambatan pertumbuhan bakteri Porphyromonas gingivalis.
Selanjutnya dilakukan uji Least Significance Difference (LSD0,05) untuk mengetahui signifikansi perbedaan efektivitas daya antibakteri antara EEP konsentrasi 20%, 30%, dan 40% terhadap diameter zona hambatan pertumbuhan bakteri Porphyromonas gingivalis. Hasil perhitungan LSD0,05 dapat dilihat pada tabel V.
Tabel V. Hasil uji LSD0,05 untuk EEP konsentrasi 20%, 30%, dan 40% terhadap pertumbuhan Porphyromonas gingivalis
Perlakuan
|
Rerata Perbedaan
|
p
|
Konsentrasi
|
Konsentrasi
|
20%
|
30%
40%
|
-1,663
-0.608
|
0,000
0,000
|
30%
|
20%
40%
|
1,663
1,055
|
0,000
0,000
|
40%
|
20%
30%
|
0,608
-1,055
|
0,000
0,000
|
Pada hasil uji LSD0,05 terlihat bahwa larutan EEP antara konsentrasi 20%, 30%, dan 40% terdapat perbedaan yang bermakna (p<0,05). Konsentrasi 30% merupakan konsentrasi dengan daya hambat terbesar.
B. Pembahasan
Hasil penelitian diperoleh dengan mengukur diameter zona hambatan yang terbentuk di sekitar lubang sumuran dengan menggunakan jangka sorong. Zona hambatan adalah daerah bening yang tidak terdapat pertumbuhan bakteri Porphyromonas gingivalis.
Pada larutan etanol 70% (kontrol) tidak terbentuk zona hambatan di sekitar sumuran (0,00 mm). Pada dasarnya larutan etanol 70% memiliki kemampuan untuk membunuh bakteri. Namun, larutan etanol 70% memiliki kelemahan yaitu sangat cepat menguap, hal ini mengakibatkan efektivitas daya antibakteri larutan ini hanya terjadi pada saat awal aplikasi. Selanjutnya setelah larutan ini menguap, kolonisasi bakteri akan terbentuk kembali pada media MHA.
Hasil perhitungan statistik dengan menggunakan Anava satu jalur menunjukkan adanya perbedaan bermakna antara EEP konsentrasi 20%, 30%, dan 40% dalam menghambat pertumbuhan Porphyromonas gingivalis (p<0,05). Efek antibakteri propolis didapat dari senyawa flavonoid yang terkandung di dalam propolis. Flavonoid merupakan senyawa yang paling banyak terkandung di dalam propolis, konsentrsi flavonoid mencapai 45-55% di dalam propolis (Dingens, 2001). Kenaikan konsentrasi EEP dapat berpengaruh terhadap kenaikan konsentrasi flavonoid yang terkandung di dalam EEP.
Flavonoid mampu berinteraksi dengan DNA bakteri, hasil interaksi tersebut menyebabkan rusaknya permeabilitas dinding sel bakteri, mikrosom, dan lisosom. Ion hidroksil dalam flavonoid yang berikatan dengan muatan negatif dari dinding sel bakteri dapat mengubah keseimbangan osmotik sel, mengganggu integritas membran sitoplasma bakteri, dan menyebabkan kebocoran komponen intraseluler (Etrela dkk., 1995). Membran sel berguna sebagai penghalang yang selektif bagi sel. Beberapa zat diangkut secara aktif melalui membran sehingga konsentrasinya di dalam sel tinggi. Membran sel juga merupakan tempat bagi banyak enzim yang terlibat dalam biosintesis berbagai komponen membran sel. Zat-zat yang terkonsentrasi pada permukaan sel dapat mengubah sifat-sifat fisik dan kimiawi membran, menggangu fungsi normalnya sehingga dapat menghambat atau membunuh sel (Jawetz dkk., 2001). Penelitian ini membuktikan bahwa konsentrasi EEP mempunyai pengaruh bermakna terhadap pertumbuhan bakteri Porphyromonas gingivalis.
Hasil perhitungan statistik menggunakan LSD0,05 menunjukkan adanya perbedaan bermakna diameter zona hambatan pada EEP konsentrasi 20%, 30%, dan 40% (p<0,05). Hal ini menunjukkan adanya pengaruh EEP dengan konsentrasi yang berbeda terhadap pertumbuhan Porphyromonas gingivalis. Nilai rerata diameter zona hambat menunjukkan bahwa terdapat perbedaan efektivitas daya antibakteri antara EEP konsentrasi 20%, 30%, dan 40%. Hal ini dipertegas Siswandono dan Soekardjo (1995), yang menyatakan bahwa salah satu faktor yang mempengaruhi efektivitas daya antibakteri suatu bahan adalah konsentrasi. Hasil perhitungan statistik menggunakan LSD0,05 juga menunjukkan bahwa EEP dengan konsentrasi 30% merupakan EEP yang memiliki daya hambat paling besar terhadap Porphyromonas gingivalis. Hal ini dapat disebabkan karena peningkatan konsentrasi suatu bahan akan diikuti dengan peningkatan daya hambat pertumbuhan bakteri bahan tersebut, tetapi pada konsentrasi maksimal (puncak), akan terjadi penurunan daya hambat pertumbuhan bakteri (Ganiwarna, S.G., 1995). Pada penelitian ini dapat dilihat bahwa konsentrasi EEP 30% merupakan konsentrasi maksimal, kemudian pada konsentrasi 40% terjadi penurunan daya hambat bakteri larutan EEP tersebut.
Pada penelitian Muli, dkk (2008) menjelaskan bahwa EEP 30% merupakan konsentrasi optimum EEP dalam menghambat pertumbuhan bakteri Pseudomonas aeruginosa, Salmonella Typhi, Escherichia coli, Staphylococcus aureus dan Bacillus subtilis. Kesimpulan yang didapatkan adalah EEP 30% juga merupakan konsentrasi optimal dalam menghambat Porphyromonas gingivalis. Kepekaan bakteri pada suatu bahan mamiliki efek berbeda-beda, maka perlu dilakukan penelitian lanjut, dapat digunakan bakteri periodontophagen lain seperti Capnocytophaga sp. dan Fusobacteriun nucleatum untuk dilakukan uji daya hambat EEP.
Penelitian yang kami lakukan adalah dengan menggunakan metode difusi.
Metode difusi paling banyak digunakan menentukan kepekaan bakteri terhadap suatu obat atau bahan.Tetapi, metode ini memiliki kelemahan yaitu tidak dapat mengukur KHM (Kadar Hambat Minimal), yaitu konsentrasi terendah bahan antibakteri yang mampu menghambat pertumbuhan bakteri, dan pengukuran KBM (Kadar Bunuh Minimal), yaitu konsentrasi paling rendah yang mampu membunuh bakteri (Goodman dan Gilmman, 1980). Sehingga untuk penelitian lebih lanjut disarankan untuk menggunakan metode dilusi yang memungkinkan adanya suatu hasil yang kuantitatif, yang menunjukkan jumlah obat yang diperlukan untuk menghambat atau mematikan mikroba yang diuji (Brooks, 1996). Dengan metode dilusi dapat dilakukan penelitian dengan range konsentrasi yang lebih kecil untuk menentukan konsentrasi optimum EEP terhadap Porphyromonas gingivalis.
BAB VI
KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian diperoleh kesimpulan sebagai berikut:
Terdapat pengaruh perbedaan konsentrasi ekstrak etanolik propolis (EEP) 20%, 30%, dan 40% terhadap daya hambat pertumbuhan Porphyromonas gingivalis. Diantara ketiga konsentrasi tersebut, EEP 30% merupakan EEP dengan konsentrasi yang memiliki daya hambat paling besar.
.
B. Saran
Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan maka dapat diajukan saran sebagai berikut:
1. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut mengenai pengaruh konsentrasi EEP terhadap bakteri lain yang menyebabkan penyakit periodontitis, misalnya Capnocytophaga sp. dan Fusobacteriun nucleatum.
2. Perlu dilakukan penelitian yang serupa tetapi dengan range konsentrasi yang lebih kecil
3. Perlu dilakukan penelitian mengenai pengaruh konsentrasi EEP dengan metode dilusi.
Daftar Pustaka
Amano, A., 2007, Disruption of epithelial barrier and impairment of cellular function by Porphyromonas gingivalis, Biosci., 12: 3965–74.
Anastasia, 1993, Buku Ajar Periodonti terjemahan dari Outline of Periodontics, Hipokrates, Jakarta.
Bankova, V.S., Popov, S.S., Marekov, N.L.,1993, A Study of Flavonoid of Propolis, J. Nat Prod, 46: 471-4.
Bellanti, J.A., 1993, Imunoligi III (terj), Gadjah Mada University Press, Yogyakarta.
Bjelland, S., Bray, P., Gupta, N., Hirsch, R., 2002, Dentist, Diabetes and Periodontitis, Australian Dental Journal, 43(3):2002-7
Boone, D. R. and Castenholtz, R. W. 2002. Bergey’s Manual of Systematic Bacteriology, 2nd ed., Vol. 1., Springer-Verlag, New York.
Bramanti, T. E., Wong, G.G., Weintraub, S.T, Holt, S.S., 1989, Chemical
and biologic properties of lipopolysaccharide from Bacteroides gingivalis strains W50, W83, and ATCC 33277. Oral Microbiol.Immunol. 4:183–92.
Brooks, G.F., Butel, J.S., Ornston, L.N., 1996, Jawetz, Melnick & Adelberg Mikrobiologi Kedokteran (terj.), Penerbit Buku Kedokteran EGC, Jakarta.
Burdock, G.A., 1998, Review of Biological Properties of Bee Propolis, Food Chem-Toxocol, 36(4): 347-63.
Cowan, M.M., 1999, Plants Products as Antimicrobial Agents, American Society of Microbiology, USA.
Dingens, B., 2001, Canadian Propolis Product, Moncton, N.B. www.planetbee.com. diakses tanggal 12 November 2009.
Eastoe dan Cole, 1977, Biochemistry and Oral Biology, Toppan, Tokyo.
Etrela, C., Sydney, G.B., Hammann, L.L., Felipe Jr, G., 1995, Mechanism of Action Calcium and Hydroxyl Ions of Calcium Hydroxyds on tissue and bacteria, Brazil Dent J., 6: 85-90.
Farnesil, A.P., Aquino-Ferreiral, R., De Jongl, D., Bastos, J.K., dan Soares, A.E.E., 2009, Effects of stingless bee and honey bee propolis on four species of bacteria, Genetics and Molecular Research, 8(2): 635-40.
Farquharson, S.I., Germaine, G.R., Gray, G.R., 2000, Isolation and characterization of the cell-surface polysaccharides of Porphyromonas gingivalis ATCC 53978. Oral Microbiol. Immunol., 15:151–7.
Fedi, P.F, Vernino, A.R, Gray, J.L., 2000, Silabus Periodonti, 4th ed.,EGC, Jakarta.
Gan, V.H.S., 1987, Farmakologi dan Terapi, 3rd ed., Bagian Farmakologi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta,
Ganiwarna, S.G., 1995, Farmakologi dan Terapi, UI Press, Jakarta.
Harty, F.J. dan Ogston, R., 1995, Kamus Kedokteran Gigi, Penerbit Buku Kedokteran EGC, Jakarta.
Hay, K.D., dan Greig, D.E., 1990, Propolis allergy : A Cause of Oral Mucositis with Ulceration, Oral Surg Oral Med Oral Pathology, 70 :584-6.
Hoag, P.M., dan Pawlak, E.A., 1990, Essential of Periodonyics, 4th ed., The C.V. Mosby Company, USA .
Horax, S., 2000, Efek Antimikroba Obat Kumur Propolis Terhadap Penderita Gingivitis, Disertasi, Universitas Hassanudin, Makassar.
Irfan, U. M., Dawson, D. V., Bissada, N. F., 2001, Epidemiology of periodontal disease: a review and clinical perspectives, J. Int. Acad. Periodontol., 3: 14–21.
Jawetz, E., Melnick, J.L., dan Adelberg E.A., 2001, Medical Biology, 22th ed., Mc Graw-Hill Company, North America.
Kaal, J., 1991, Natural Medicine from Honey Bees Therapy, Kaal’s Printing House, Amsterdam.
Koo, H., Gomes, B. P., Rosalen, P. L., Ambrosano, G. M., Park, Y. K., Cury, J. A., 2000, In vitro antimicrobial activity of propolis and Arnicamontana against oral pathogens. Arch Oral Biol, 45:141–8.
Kozarov, E. V., Dorn, B. R., Shelburne, C. E., Dunn Jr., W. A., Progulske-Fox, A. 2005, Human atherosclerotic plaque contains viable Actinbacillus actinomycetemcomitans and Porphyromonas gingivalis, Arterioscler. Thromb, Vasc. Biol., 25, e17–e18.
Kumar, P.S., Griffen, A.L., Barton J.A., Paster, B.J., Moeschberger, M.L., Leys, E.J., 2003, New Bacterial Species associate with Chronic Periodontitis, J. Dent. Res, 82: 338-44.
Leslie, C., 1998, Topley and Wilson’s Microbiology and Microbial Infection: Systematic Bacteriology. 9th ed., Oxford University Press,Inc., New York.
Löe, H., 1993, Periodontal Diseases: A Brief Historical Perspective, Periodontol 2000 , 2: 7-12.
Madigan, M.T., Martinko, J..M., Parker, J., 2003, Biology of Microorganisms, 10th ed., Pearson Education Inc, USA.
Muli, E.M., Maingi, J.M., Macharia, J., 2008, Antimicrobial Properties of Propolis and Honey from the Kenyan Stingless bee, Dactylurina Schimidti, APIACTA, 43: 49-61.
Naito, M., Hirakawa, H., Yamashita, A., Ohara, N., Shoji, M., Yukutakei, H., Nakayama K., Toh, H., Yoshimura F., Kuhara, S., Hattori, M., Hayasht, T., Nakayama, K., 2008, Determination of the Genome Sequence of Porphyromonas gingivalis Strain ATCC 33277 and Genomic Comparison with Strain W83 Revealed Extensive Genome Rearrangements in P. gingivalis, DNA Research, 15: 215-25.
Newman, M.G., Carranza, F.A., Bulkacz, J., Quirynen, M., Teughels, W., Haake, S.K., 2006, Microbiology of Periodontal Disease in Carranza’s Clinical Periodontology,10th ed, Saunders Elseviers, Los Angeles.
Novak, M.J., 2002, Classification of Diseases and Condition Affecting The Periodontium, dalam M.G., Newman, H.H., Takei, F.A., Carranza, (eds.): Clinical Periodontology, 9th ed., Saunders Co., Philadelphia.
Pelczar Jr., M.J.., dan Chan, E.C.S., 1988, Dasar-dasar Mikrobiologi 2 (terj.), UI Press, Jakarta.
Pizzo, G. 2006. The Effects of Antimicrobial Sprays and Mouthrinses on Supragingival Plaque Regrowth : A Comparative Study. J Periodontol, 77 : 248-56.
Rose, L.F. dan Mealey, B.L. 2004. Peridontics Medicine, Surgery and Implant. Mosby, USA.
Sabir, Ardo. 2005. In vitro antibacterial activity of flavonoids Trigona sp propolis against Streptococcus mutans, MKG, 38 (3).
Salatino A., Teixeiera, E.W., Negri, G., Message, D., 2005, Origin and Chemical Variation of Brazilian Propolis, Evid Based Comlement Alternat Med, 2 (1): 33-8.
Samaranayake, L.P., 2002, Essential Microbiology for Dentistry, Churchill Livingstone Elsevier,Toronto.
Sculley, D.V., Langley-Evans, S.C., 2002, Salivary Antioxidants and Periodontal Disease Status, Proc Nutr Soc, 61: 137-43.
Setiabudy, R., Gan, V.H.S., 1995, Antimikroba dalam Ganiswarna, S.G., Setiabudy, R., Suyatna, F.D., Purwantyastuti dan Nafrialdi (eds): Farmakologi dan Terapi, ed. 4, Bagian Farmakologi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta.
Siswandono., Soekardjo, B., 1995. Kimia Medisinal. Cetakan I., Airlangga University Press. Surabaya.
Siswanto, Y.W., 1997,Penanganan Hasil Panen Tanaman Obat Komersil, Trubus Agriwidya, Ungaran.
Situmorang, Nurmala, 2003, Profil Penyakit Periodontal Penduduk di Dua Kecamatan Kota Medan tahun 2004 Dibandingkan dengan Kesehatan Mulut Tahun 2010 (WHO), Dentika Dental Journal, 9 (2): 71-7.
Steinberg, D., Kaine, G., Gedalia, L., 1996, Antibacterial Effec of Propolis and Honey on Oral Bacteria, American Journal of Dentistry, 9 (6) :236-9.
Strehle, M.A., Jenke, F., Tautz, J., Riederer, M., Kiefer, W., 2003, Raman Spectroscopic Study of Spatial Distribution of Propolis in Comb of Apis mellifera carnica (Pollm.), Willey Periodicals, Inc., 72 : 217-24.
Syamsudin, Wiryowidagdo, S., Simajuntak, P., Heffen, W.L., 2009, Chemical Composition of Propolis from Different Regions in Java and their Cytotoxic Activity, American Journal of Biochemistry and Biotechnology, 5 (4): 180-3.
Tortora, G.J., Funke, B.R., Case, C.L., 2001, Microbiology an Introduction, 7th ed., Addison Wesley Longman Inc., San Fransisco.
Wahyukundari, M. A., 2008, Perbedaan Kadar Matrix Metalloproteinase-8 Setelah Scaling dan Pemberian Tetrasiklin pada Penderita Periodontitis Kronis, Jurnal PDGI, 58 (1): 1-6.
Walji, H., 2001, Terapi Lebah : daya Kekuatan dan Khasiat Lebah, Madu, dan Serbuk Sari Bergizi Bagi Kesehatan, Prestari Pustaka, Jakarta.
Wikipedia, 2009, Research in the Darveau Lab, http://www.mamagums.com/images/cardio1PerioLoesche.gifhttp. diakses tanggal 12 November 2009.
Wilbraham, A.C., Matter, M.S., 1999, Pengantar Kimia Organik dan Hayati (terj.), Penerbit ITB, Bandung.
Willet, N.D., White, R.R., Rosen, S., 1991, Essential Dental Microbiology, International ed., Appleton dan Lange, Singapore.
Penelitian Propolis