Kelainan Pada Kelenjar Saliva
Kelainan Pada Kelenjar Saliva
- Manusia
memiliki kelenjar saliva yang terbagi menjadi kelenjar saliva mayor
dan minor. Kelenjar saliva mayor terdiri dari sepasang kelenjar
parotis, submandibula
dan
sublingual. Kelenjar saliva minor jumlahnya ratusan dan terletak di
rongga mulut. Kelenjar saliva mayor berkembang pada minggu ke-6
sampai ke-8 kehidupan embrio dan berasal dari jaringan ektoderm.
Kelenjar saliva minor berasal dari jaringan ektoderm oral serta
endoderm nasofaring dan membentuk sistem tubuloasiner sederhana.
Kelenjar saliva berfungsi memproduksi saliva yang bermanfaat untuk
membantu pencernaan, mencegah mukosa dari kekeringan, memberikan
perlindungan pada gigi terhadap karies serta mempertahankan
homeostasis.
Kelenjar
ini juga tidak terlepas dari penyakit. Penyakit yang banyak mengenai
kelenjar ludah disebabkan oleh infeksi, inflamasi, trauma, kondisi
imun, serta tumor. Untuk menegakkan diagnosa penyakit pada kelenjar
air ludah, perlu dilakukan anamnesa, pemeriksaan obyektif, serta
pemeriksaan penunjang yang dapat membantu penegakan diagnosa. Selain
itu, perlu diketahui tindakan apa yang paling sesuai untuk penanganan
penyakit pada glandula salivarius.
ANATOMI
KELENJAR SALIVA
Kelenjar saliva
merupakan suatu kelenjar eksokrin yang berperan penting dalam
mempertahankan kesehatan jaringan mulut. Kelenjar saliva merupakan
organ yang terbentuk dari sel-sel khusus yang mensekresi saliva ke
dalam rongga mulut. Saliva terdiri dari cairan encer yang mengandung
enzim dan cairan kental yang mengandung mukus. Menurut struktur
anatomis dan letaknya, kelenjar saliva dapat dibagi dalam dua
kelompok besar yairu kelenjar saliva mayor dan kelenjar saliva
minor. Kelenjar saliva mayor dan minor menghasilkan saliva yang
berbeda-beda menurut rangsangan yang diterimanya. Rangsangan ini
dapat berupa rangsangan mekanis (mastikasi), kimiawi (manis,asam,
asin dan pahit), neural, psikis (emosi dan stress), dan rangsangan
sakit. Macam-macam kelenjar ludah:
Kelenjar
saliva utama/mayor
Kelenjar-kelenjar
saliva mayor terletak agak jauh dari rongga mulut dan sekretnya
disalurkan melalui duktusnya kedalam rongga mulut. Kelenjar saliva
mayor sangat memegang peranan penting dalam proses mengolah makanan.
Kelenjar
saliva mayor terdiri dari :
Terletak
dibagian bawah telinga dibelakang ramus mandibula (antara prossesus
mastoideus dan ramus mandibula)
Mengandung
sejumlah besar enzim antara lain amilase lisozim, fosfatase asam,
aldolase, dan kolinesterase. Merupakan kelenjar serous pada manusia
dewasa, kaya akan air sekresi
encer. Pada anak-anak masih mengandung kelenjar mucous. Saliva
terdiri dari 25% sekresi kelenjar parotis
Merupakan
kelenjar terbesar dibandingkan dengan kelenjar saliva lainnya dengan
berat 20-30 gram, panjang duktus 35-40 mm, dengan diameter 3 mm
Terletak
dibagian bawah telinga dibelakang ramus mandibula meluas ke lengkung
zygomaticum
di depan telinga dan mencapai dasar dari musculus
masseter
Duktus
parotis yakni duktus Stensen
yang berjalan menyilang permukaan otot masseter. Duktus kelenjar ini
berjalan menembus pipi dan bermuara pada vestibulum oris pada
lipatan antara mukosa pipi dan gusi dihadapan molar 2 atas
Terletak
di bawah ramus mandibula
Merupakan
kelenjar saliva terbesar ke dua berat 8-10 gram
Bentuk
oval seperti kacang, terletak di trigonum submandibular
Duktus
submandibular disebut duktus Wharton
Duktus
muncul dari permukaan bagian dalam kelenjar dan berjalan sampai
mencapai dasar mulut, kemudian bermuara pada caruncula
sublingualis
di
dekat
frenulum lidah
Panjang
duktus 40-50 mm, diameter lebih kecil dari kelenjar parotis
Kelenjar
submandibula 75% bersifat serous dan 25% mucous
Terletak
dibawah lidah dan dibawah membran mukosa mulut
Merupakan
kelenjar terkecil dari kelenjar saliva mayor
Kelenjar
ini bentuknya memanjang dengan berat 2-3 gram
Duktus
kelenjar ini yaitu
duktus Bartholin
Kelenjar
sublingual hampir seluruhnya mucous dengan sedikit serous
Gambar
1. Glandula
salivarius mayor; (1) glandula parotis; (2) glandula submandibula;
(3) glandula sublingual
Gambar
2. Duktus
glandula salivarius mayor
Kelenjar
ludah tambahan/ minor
Kebanyakan kelenjar
ludah merupakan kelenjar kecil-kecil yang terletak di dalam mukosa
atau submukosa (hanya menyumbangkan 5% dari pengeluaran ludah dalam
24 jam) yang diberi nama lokasinya atau nama pakar yang menemukannya.
Semua kelenjar ludah mengeluarkan sekretnya kedalam rongga mulut.
Kelenjar saliva minor tediri dari:
Kelenjar
labial (glandula labialis) terdapat pada bibir atas dan bibir bawah
dengan asinus-asinus seromukus
Kelenjar
bukal (glandula bukalis) terdapat pada mukosa pipi, dengan
asinus-asinus seromukus
Kelenjar
Bladin-Nuhn (Glandula lingualis anterior) terletak pada bagian bawah
ujung lidah disebelah menyebelah garis, median, dengan asinus-asinus
seromukus
Kelenjar
Von Ebner (Gustatory Gland = albuminous gland) terletak pada pangkal
lidah, dnegan asinus-asinus murni serus. Kelenjar Weber yang juga
terdapat pada pangkal lidah dengan asinus-asinus mucus. Kelenjar Von
Ebner dan Weber disebut juga glandula lingualis posterior
Kelenjar-kelenjar
pada pallatum dengan asinus mukus
JENIS-JENIS
PENYAKIT GLANDULA SALIVA
Non
Neoplastik Disorder
Infeksi
Infeksi
akut
Manifestasi infeksi
akut yang biasa terjadi pada kelenjar ludah biasanya berupa parotitis
akut. Beberapa kelompok virus dan bakteri merupakan penyebab umum
terjadinya ketidaknormalan produksi kelenjar ludah. Sebagian besar
infeksi bakteri kemungkinan berasal dari kavitas oral dan berhubungan
dengan penurunan aliran ludah. Selain itu beberapa pasien dengan
kondisi lemah dan imunosupresan memiliki resiko untuk terkena
sialedenitis akut.
Infeksi
Bakteri
Acute
suppurative Sialedenitis
merupakan suatu kondisi akut dan nyeri difus pada keadaan awal
penyakit glandula parotis. Kelenjar mengalami pembesaran, terasa
sakit, dan terdapat eksudat purulen yang terlihat pada orifice bukal
duktus Stensen. Penyakit ini biasanya terjadi pada pasien dengan
kondisi kesehatan lemah, dehidrasi, dengan oral hygiene yang buruk.
Penyakit ini biasanya disebabkan oleh infeksi bakteri Staphylococcus
aureus,
Streptococcus
viridans,
S.
pneumoniae,
Haemophilus
influenzae,
Streptococcus
pyogenes,
and Escherichia
coli.
Limfonodi parotis dan intraparotis biasanya akan terlibat sebagai
reaksi inflamasi. Treatment of choice penyakit ini adalah dengan
terapi antibiotik. Selain pada glandula parotis, acute
suppurative sialedenitis
juga dapat menyerang pada region submandibula.
Suppurative
parotitis.
Penyakit ini dapat terjadi pada bayi yang baru lahir, biasanya pada
bayi yang lahir prematur (35-40%) dengan dehidrasi sebagai faktor
predisposisi. Onset
biasanya terjadi sekitar 7-14 hari dan terdapat eritema pada kulit
di sekitar kelenjar parotis. Penyebab
umum infeksi antara lain Staphylococcus,
Pseudomonas,
Streptococcus,
Pneumococcus,
and Escherichia.
Terapi hidrasi dan antibiotic biasanya digunakan untuk merawat
infeksi. Pasien yang salah terdiagnosis atau yang tidak terobati
sempurna terkadang dapat berkembang menjadi abses intraglandular.
Sialodochitis
merupakan inflamasi yang terjadi baik pada duktus Warthon
maupun Stensen. Biasanya terjadi dilatasi pada obstruksi distal.
Pembesaran duktus dapat berbentuk fusiform atau berantai
menghasilkan area ductal stenosis.
Infeksi
Virus
Kasus paling umum
yaitu viral parotitis (mumps) yang disebabkan oleh RNA virus dari
kelompok paramyxovirus. Pada tahap awal infeksi melibatkan kelenjar
parotis namun juga dapat berkembang di kelenjar submandibula maupun
sublingual. Diagnosis biasanya berdasarkan pada penyakit epidemik dan
ditegakkan dengan uji titer antibody. Periode inkubasi diantara 2-3
minggu, dengan keterlibatan kelenjar parotis secara unilateral pada
20-33,3% kasus. Agen virus lain yang dapat menyebabkan parotitis
antara lain
coxsackie viruses, parainfluenza viruses (types I and III), influenza
virus type A, herpes virus, echo virus, and choriomeningitis virus.
Infeksi
Kronis
Inflamasi kronis
merupakan penyakit umum kelenjar ludah yang disebabkan oleh rekurensi
infeksi bakteri atau infeksi dari agen lain. Kondisi non infeksi
disebabkan oleh iradiasi, penyakit autoimun, dan kasus idiopatik.
Mycobacteria
Epidemiologi
menyatakan bahwa infeksi mycobacteria dapat menyerang kelenjar
parotis (70% kasus), kelenjar submandibula (27%), dan kelenjar
sublingualis (3%). Sebagian besar penyakit yang disebabkan infeksi
ini berkembang dari tonsi maupun gigi yang menjadi fokal infeksi
kemudian menyebar ke kelenjar melalui limfonodi. Sarcoidosis,
merupakan penyakit sistemik infeksius yang ditandai dengan
pembentukan granuloma pada berbagai system organ dan biasanya
disebabkan oleh infeksi mycobacteria. Sekitar
83% kasus pasien mengalami pembesaran kelenjar parotis bilateral dan
penurunan aliran saliva. Beberapa pasien, juga mengalami gejala
xerostomia akibar kelenjar ludah minor ikut terinfeksi. Sebagian
besar pasien tidak mengalami rasa sakit, dan terjadi pembesaran
kronis pada kelenjar yang terlibat dengan penambakan multinodular dan
terlihat seperti keganasan.
Syphilis
Syphilis biasanya
jarang terjadi pada kelenjar parotis, namun ketika penyakit ini
muncul, distribusi dan penampakannya sama seperti pada infeksi TB
dengan gambaran yang hamper mirip dengan sarcoidosis.
Cat-Scratch
Disease disebabkan
oleh infeksi bakteri gram negatif, riketsia dan menyebabkan
limfadenitis regional. Penyakit ini biasa menyerang pada anak-anak
dan remaja. Radiografik menunjukkan adanya pembesaran limfonodi
intraparotid yang meluas dan tidak spesifik dan hal ini mirip pada
infeksi sarcoidosis dan infeksi TB sehingga sering terjadi kesalahan
diagnosis.
Toxoplasmosis
merupakan infeksi protozoa yang disebabkan oleh Toxoplasma
gondii.
Penyakit ini merupakan infeksi yang umum terjadi yaitu sekitar 5-95%
populasi tergantung dari lokasi geografis.
Actinomycosis
disebabkan oleh infeksi bakteri gram positif anaerob, Actinomyces
iszraelli,
mengakibatkan infeksi orofaring. Limfonodi parois dan submandibular
dapat menjadi lokasi infeksi sekunder yang disebarkan melalui
perluasan perluasan infeksi kronis mandibula. Jaringan ikat sekitar
mengalami infiltrate inflamasi dan terkadang infeksi kelenjar
parotis dapat menyebar hingga masticator
space.
Infeksi bakteri ini pada kelenjar parotis dapat akut, dengan gejala
rasa sakit, pembengkakan, abses, dan pembentukan fistula. Infeksi
kronik memiliki gambaran hamper mirip seperti infeksi TB yang
termanifestasi sebagai masa parotid yang tidak sakit.
Inflamasi
a. Sialolithiasis,
sebagian besar terjadi pada kelenjar submandibula (80-90%), kelenjar
parotis (10-20%), dan sekitar 1-7% terjadi di kelenjar ludah
sublingual. Keterlibatan kelenjar ludah minor sangatlah jarang,
meskipun juga bias terjadi pada mukosa bukal dan bibir atas. Sekitar
75% batu berbentuk solid dan tunggal, namun 25% diantaranya memiliki
batu kelenjar multiple. Pada pasien dengan sialodenitis kronis,
setidaknya terdapat kalkulus pada du pertiga kasus dan pada gambaran
radiograf batu tampak sebagai lesi radiopak. Sebanyak 85% batu
kelenjar submandibula terjadi di dalam duktus Warthon, 30% di dekat
ostium duktus, dan 20% diantaranya pada pertengahan duktus.
Terapi
Sialolithiasis:
a.Tanpa pembedahan
Pengobatan klasik silolithiasis (medical treatment)
adalah penggunaan antibiotik dan anti inflamasi, dengan harapan batu
keluar melalui caruncula secara spontan.Pada beberapa kasus dimana
batu berada di wharton papillae, dapat dilakukan tindakan
marsupialization (sialodochoplasty). Sering kali batu masih tersisa
terutama bila berada di bagian posterior Warton’s duct, sehingga
pendekatan konservatif sering diterapkan.
b. Pembedahan
Sebelum teknik endoskopi dan lithotripsi berkembang pesat,
terapi untuk mengeluarkan batu pada sialolithiasis submandibula
delakukan dengan pembedahan, terutama pada kasus dengan diameter batu
yang besar (ukuran terbesar sampai 10 mm), atau lokasi yang sulit.
Bila lokasi batu di belakang ostium duktus maka bisa dilakukan
tindakan simple sphincterotomy dengan anestesia lokal untuk
mengeluarkannya. Pada batu yang berada di tengah-tengah duktus harus
dilakukan diseksi pada duktus dengan menghindari injury pada n.
lingualis. Hal ini bisa dilakukan dengan anestesi lokal maupun
general, tapi sering menimbulkan nyeri berat post operative. Harus
dilakukan dengan anestesi general, bila lokasi batu berada pada
gland's pelvis. Pada kasus ini harus dilalakukan submaxilectomy
dengan tingkat kesulitan yang tinggi, karena harus menghindari
cabang-cabang dari n. facialis.
c. Minimal invasive
-
Lithotripsi
Extracorporeal Shock Wave Lithotripsy
(ESWL) merupakan terapi dengan pendekatan non invasive yang cukup
efektif pada sialolithiasis. Setelah berhasil untuk penanganan batu
di saluran kencing dan pankreas, ESWL menjadi alternatif penanganan
batu pada saluran saliva, dimulai tahun 1990- an. Tujuan ESWL untuk
mengurangi ukuran calculi menjadi fragmen yang kecil sehingga tidak
mengganggu aliran seliva dan mengurangi simptom. Diharapkan juga
fragmen calculi bisa keluar spontan mengikuti aliran saliva.
Indikasi
ESWL bisa dilakukan pada semua sialolithiasis baik dalam glandula
maupun dalam duktus, kecuali posisi batu yang dekat dengan struktur
n. facialis. Inflamasi akut merupakan kontra indikasi lokal dan
inflamasi kronis bukan merupakan kontra indikasi, sedangkan kelainan
pembekuan darah (haemorrhagic diathesis), kelainan kardiologi, dan
pasien dengan pacemaker merupakan kontraindikasi umum ESWL.
Metode ini tidak menimbulkan nyeri dan tidak membutuhkan
anestesia, pasien duduk setengah berbaring (semi-reclining position)
seperti terlihat pada Gb.(a). Shockwave benar-benar fokus dengan
lebar 2,5 mm dan kedalaman 20mm sehingga lesi jaringan sekitarnya
sangat minimal. Energi yang digunakan disesuaikan dengan batu pada
kelenjar saliva, yaitu antara 5 – 30 mPa. Tembakan dilakukan 120
impacts per menit, bisa dikurangi sampai 90 atau 60 impacts per
menit. Setiap sesion sekitar 1500 + / - 500 impacts dan antar sesion
terpisah minimal satu bulan.
Keberhasilan ESWL
tergantung pada dimensi, lokasi, dan jumlah calculi. Ketepatan posisi
(pinpointing) calculi bisa dipandu dengan ultrasonography, echography
probe 7,5 Mhz. Calculi dengan ukuran > 10 mm sulit dipecah menjadi
fragmen.
Beberapa
penelitian telah melakukan pengamatan dan follow up atas keberhasilan
penggunaan ESWL, antara lain Escidier et al mengamati 122 kasus
dimana 68% pasien terbebas dari simptom setelah difollow up selama 3
tahun, Cappaccio et al dengan 322 kasus melaporkan 87,6% pasien
terbebas dari simptom setelah diamati 5 tahun sejak pengoabatan
menggunakan ESWL.
- Sialendoskopi
Sialendoskopi
merupakan teknik endoskopi untuk memeriksa duktus kelenjar saliva.
Teknik ini termasuk minimal invasive terbaru yang dapat digunakan
untuk diagnosis sekaligus manajemen terapi pada ductal pathologies
seperti obstruksi, striktur, dan sialolith. Prosedur yang dapat
dilakukan dengan Sialendoskopi merupakan complete exploration ductal
system yang meliputi duktus utama, cabang sekunder dan
tersier.
Indikasi diagnostik dan intervensi dengan Sialendoskopi
adalah semua pembengkakan intermitten pada kelenjar saliva yang tidak
jelas asalnya.
Koch et al lebih
khusus menjelaskan indikasinya, antara lain untuk 1) deteksi
sialolith yang samar, 2) deteksi dini pemebentukan sialolith (mucous
or fibrinous plugs) dan profilaksis pembentukan batu, 3) pengobatan
stenosis post inflamasi dan obstruksi karena sebab lain, 4) deteksi
dan terapi adanya variasi anatomi atau malformasi, 5) diagnosis dan
pemahaman baru terhadap kelaianan autoimun yang melibatkan kelenjar
saliva, 6) sebagai alat follow up dan kontrol keberhasilan terapi.
Tidak ada kontra indikasi khusus, karena merupakan teknik minimal
invasive yang hanya membutuhkan enestesi lokal dan cukup rawat jalan
saja, baik pada anak-anak, dewasa maupun usia lanjut.
- Teknik
Intervensi Sialendoskopi.
Sialendoskopi dilakukan
dengan anestesi lokal, papila untuk mencapai kelenjar diinjeksi
dengan bahan anestesi (xylocaine 1% dengan epinephrine 1:200000).
Papila dilebarkan bertahap dengan probe yang bertambah besar sampai
sesuai dengan diameter sialendoskop. Kemudian sialendoskop dimasukkan
ke dalam duktus kelenjar saliva diikuti pembilasan dengan cairan
isotonik melalui probe. Pembilasan ini dimaksudkan untuk dilatasi
duktus dan irigasi debris. Duktus kelenjar saliva ini dioservasi
mulai dari duktus utama sampai cabang tersier hingga probe tidak bisa
masuk lagi, dengan catatan menghindari trauma dan perforasi dinding
duktus.
Bila didapatkan
obstruksi, kita bisa menggunakan beberapa teknik untuk mengatasinya.
Untuk pengambilan batu dengan diameter < 4 mm pada kelenjar
submandibula atau < 3mm pada klenjar parotis, kita dekatkan
sialendoskop ke sialolith kemudian kita masukkan ke dalam working
chanel sebuah forsep penghisap yang fleksibel dengan diameter 1 mm
atau stone extractor (wire basket forcep). Berikutnya batu dihisap
dan sialendoskop ditarik dengan forcep penghisapnya.
Pada kasus dengan
batu yang lebih besar, kita memasukkan probe laser helium ke dalam
working chanel dan batu dipecah menjadi beberapa bagian kecil-kecil.
Kemudian bagian kecil tersebut ambil (removed) dengan teknik yang
sama. Sedangkan pada kasus mucus plug, sekret yang lengket
dimobilisasi dengan pembilasan dan penghisapan.
Setelah intervensi
Sialendoskopi, dilakukan stenting pada duktus submandibula
menggunakan stent plastik (sialostent) selama 2 sampai 4 minggu
dengan tujuan 1) menghindari striktur, 2) mencegah obstruksi karena
udema sekitar orifisium, dan 3) sebagai saluran irigasi
partikel-partikel batu kecil oleh aliran saliva. Pemberian
hydrocortisone 100 mg injeksi intraductal atau langsung pada daerah
striktur juga dapat mempercepat proses penyembuhan pasca
sialoendokopi.
d. Decision
Tree
Pada tindakan minimal invasive terdapat beberapa pilihan
diagnostik maupun terapi untuk managemen sebuah kasus dengan gejala
klinis adanya obstruksi pada saluran kelenjar saliva. Bila didapatkan
batu ukuran kecil (< 4 mm submandibular atau < 3 mm parotis)
maka dapat diintervensi dengan Wire Basket Extraxion. Pada batu
dengan ukuran > 4 mm submandibula atau > 3 mm parotis,
batu harus dipecah menjadi bagian yang lebih kecil menggunakan Laser
Lithotripsy kemudian dikeluarkan dengan Wire Basket Extraxion.
Sedangkan stenosis pada sistem duktus cukup dilakukan dilatasi
menggunakan metalic dilator (main duct) atau dengan balloon catheter
bila stenosis terjadi pada cabang duktus.
Komplikasi:
Segala
bentuk intervensi pada sialolithiasis, baik pembedahan terbuka maupun
minimally invasive dapat menimbulkan komplikasi antara lain: 1)
kerusakan saraf, terutama n. Lingualis dan n. Hipoglosus 2)
perdarahan post operative, 3) striktur sistem duktal, 4) pembengkakan
kelenjar yang menimbulkan nyeri, 5) cutaneus hematoma sering dijumpai
pada pasien post extracorporeal therapy, dan 6) residual lithiasis
terjadi pada sekitar 40%-50% pasien. Teknik minimal invasive yang
benar dengan Sialendoskopi, lebih memungkinkan untuk meminimalisir
terjadinya komplikasi tersebut di atas.
b. Chronic
Reccurent
Sialodenitis,
merupakan pembengakakan difus maupun terlokalisasi pada kelenjar
ludah, dan terasa sakit. Penyakit ini biasanya diasosiasikan dengan
obstruksi tidak sempurna pada sistem duktus, walaupun biasanya
terjadi variasi.
c. Sialodochitis
Fibrinosa (Kussmaul’s Disease), merupakan pembengkakan rekuren,
akut, dan bias terasa nyeri maupun tidak nyeri pada kelenjar parotis
atau submandibula. Penampakan
klinis berupa penyumbatan pada pintu masuk duktus Stensen atau duktus
Warthon. Penyakit ini biasanya terjadi padan pasien dengan kondisi
lemah dan dehidrasi perawatan dapat berupa pemijatan pada glandulam
penggunaan secretogogeus untuk menghilangkan sumbatan, dilatasi pintu
masuk duktus untuk mencegah rekurensi, dan bila dimungkinkan
dilakukan rehidrasi.
d.
Hiperlipidemia, dikarakteristikkan sebagai peningkatan level
trigliserid dan atau kolesterol total plasma. Beberapa pasien dengan
hiperlipidemia mengalami pembesaran kelenjar parotis dengan
infiltrate lipid yang seragam yang terlihat pada MRI. Peningkatan
kadar trigliserid plasma berkorelasi dengan pembengkakan parotis, dan
berakibat pada penurunan aliran saliva yang semakin parah. Kelenjar
submandibula juga dapat terlibat namun insidensinya lebih rendah.
e.
Sialosis, merupakan pembesaran kelenjar parotis yang rekuren maupun
kronik, nonneoplastik, non inflamatori, dan tidak terasa sakit.
Kelenjar submandibula, sublingual, dan kelenjar ludah minor juga ada
kemungkinan terlibat. Pembengkakan
parotis biasanya bilateral dan simetrik namun juga bias unilateral
dan atau simetris. Onset biasanya tidak terlalu terlihat, karena
tidak ada simptom maupun inflamasi.
Sialosis
diasosiasikan dengan berbagai penyakit endokrin, status gizi, dan
medikasi. Sialosis ditemukan pada penderita diabetes, kelainan
kelenjar tiroid, kelainan pankreas, dan akromegali. Sekitar 26-86%
kasus ditemukan pada pecandu alkohol kronis dan sirosis hati akibat
alkohol, juga pada penderita dengan status malnutrisi. Kondisi lain
meliputi hipertensi, hiperlipidemia, kegemukan, kehamilan,
brucellosis, disentri, penyakit Chaga, karsinoma esophagealm
ankylostomiasis, dan penyakit celiac. Beberapa medikasi yang dapat
memacu terjadinya sialosis antara lain phenylbutazone,
oxyphenbutazone,
sulfisoxazole,
iodide, isoproterenol, atropine, imipramine,
chloramphenicol,
oxytetracycline,
phenothiazides, benzodiazepines,
monoamine
oxidase (MAO) inhibitors, reserpine,
guanethidine,
logam berat, methimazole,
dan thiocyanates.
Trauma
a.
Mucoceles, merupakan istilah klinis yang mendeskripsikan pembengkakan
yang disebabkan oleh akumulasi saliva pada sisi yang terkena trauma
maupun daerah yang mengalami pemnyumbatan pada duktus glandula saliva
minor. Mucocele diklasifikasikan menjadi tipe retensi dan
ekstravasasi.
Gambar
3. Mucocele
pada bibir bawah sebelah kanan
b. Ranula, merupakan
mucocele yang terletak di dasar mulut. Ranula kemungkinan merupakan
fenomena ekstravasasi mucus maupun retensi mucus dan sebagian besar
terjadi pada duktus glandula saliva sublingual. Pembentukan ranula
biasanya terjadi karena trauma. Penyebab lain yaitu penyumbatan pada
kelenjar saliva atau aneurism duktus.
Gambar
4. Ranula
pada dasar mulut
Penatalaksanaan Ranula
Dalam kasus ranula,
dokter spesialis bedah mulut dapat merekomendasikan marsupialisasi
atau eksisi, dimana ranula diinsisi untuk membuat outlet pada kista
retensi kelenjar ludah sehingga cairan dapat dikeluarkan. Berikut ini
merupakan tahap-tahap prosedur marsupialisasi serta komplikasi yang
ditimbulkan :
Penjelasan
kepada penderita dan keluarganya mengenai tindakan operasi yang akan
dijalani serta resiko komplikasi disertai dengan tandatangan
persetujuan dan permohonan dari penderita untuk dilakukan operasi.
(Informed consent).
Memeriksa
dan melengkapi persiapan alat dan kelengkapan operasi.
Penderita
puasa minimal 6 jam sebelum operasi.
Antibiotika
profilaksis, Cefazolin atau Clindamycin kombinasi dengan Garamycin,
dosis menyesuaikan untuk profilaksis.
Dilakukan
dalam kamar operasi, penderita dalam narkose umum dengan intubasi
nasotrakheal kontralateral dari lesi, atau kalau kesulitan bisa
orotrakeal yang diletakkan pada sudut mulut serta fiksasinya kesisi
kontralateral, sehingga lapangan operasi bisa bebas.
Posisi
penderita telentang sedikit “head-up” (20-250)
dan kepala menoleh kearah kontralateral, ekstensi (perubahan posisi
kepala setelah didesinfeksi).
Desinfensi
intraoral dengan Hibicet setelah dipasang tampon steril di
orofaring.
Desinfeksi
lapangan operasi luar dengan Hibitane-alkohol 70% 1:1000
Mulut
dibuka dengan menggunakan spreader mulut, untuk memudahkan
mengeluarkan lidah/ dijulurkan maka bisa dipasang teugel pada lidah
dengan benang sutera 0/1.
Lakukan
eksisi bentuk elips pada mukosa dasar mulut yang membesar
akibat kista tersebut dan pilih yang paling sedikit
vaskularisasinya, kemudian rawat perdarahan yang terjadi, lakukan
sondase atau palpasi, sebab kadang ada sedimentasi/ sialolithiasis,
atau sebab lain sehingga menimbulkan sumbatan pada saluran kelenjar
liur sublingual. Tepi eksisi dijahit marsupialisasi dengan Dexon 0/3
agar tidak menutup lagi.
Apabila
masih teraba kista maka bisa dilakukan memecahkan septa yang ada
sehingga isinya bisa ter-drainase. Pada
kista yang cukup besar setelah dievaluasi tidak ada kista lagi maka
bisa dipasang tampon pita sampai keujungnya dipertahankan sampai 5
hari sebagai tuntunan epitelialisasi pada permukaan kista tadi dan
tidak obliterasi lagi.
Apabila
didapat sebagian ranula dibawah m. milohioid, maka memerlukan
pendekatan yang lebih bagus dari ekstra oral. Dan yang perlu
diperhatikan adalah preservasi nervus hipoglossus, nervus lingualis.
Pasang redon drain apabila melakukan pendekatan ekstra oral.
Evaluasi
ulang untuk perdarahan yang terjadi.
Lapangan
operasi dicuci dengan kasa-PZ steril, luka operasi yang diluar
ditutup dengan kasa steril dan di hipafiks.
Tampon
orofaring diambil, sebelum ekstubasi.
Buat
laporan operasi dan surat pengantar untuk pemeriksaan PA.
Komplikasi
operasi
Perawatan Pasca
Bedah
Infus
Ringer Lactate dan Dextrose 5% dengan perbandingan 1 : 4 (sehari)
Setelah
sadar betul bisa dicoba minum sedikit-sedikit, setelah 6 jam tidak
mual bisa diberi makan.
Pada
penderita yang terpasang drain redon dilepas jika produksinya <
10 cc/24 jam.
Luka
operasi dirawat dan ganti perban pada hari ke-3.
Pada
penderita yang dipasang kasa dengan tampon steril pada saat operasi
pada bekas kista sublingual maka tampon dipertahankan sampai hari ke
5, dan kemudian dicabut sehingga mengurang kemungkinan tertutup lagi
kista kelenjar liur tersebut.
Penderita
dipulangkan sehari setelah angkat drain dan tampon, anjurkan dan
angkat jahitan pada hari ke-7 setelah operasi.
Follow-Up
iiap minggu sampai luka operasi sembuh baik
Kondisi
Imun dan Medikasi yang Menginduksi Disfungsi Kelenjar Saliva
Benign
Lymphoepithelial Lesion
(Mikulicz’s Disease)
Etiologi penyakit
ini masih belum diketahui dan diperkirakan akibat kondisi auto imun,
virus, maupun faktor
genetik
dengan predominan pada wanita di usia pertengahan. Gejala umum yaitu
pembengkakan kelenjar ludah unilateral atau bilateral akibat
infiltrate limfoid benigna, serta penurunan produksi saliva bila
terjadi infeksi. Diagnosis banding penyakit ini yaitu
Sjorgen
syndrome, sarcoidosis, limfoma, dan penyakit lain yang diasosiasikan
dengan pembesaran kelenjar ludah.
Sjorgen
Syndrome
Sjorgen
Syndrome merupakan penyakit kronis autoimun yang dikarakteristikkan
dengan kekeringan mukosa oral dan okular, infiltrat limfosit, dan
dekstrusi eksokrin. Manifestasi oral pasien ini sangat luas sebagai
hasil dari penurunan fungsi kelenjar ludah. Hampir semua pasien
mengeluhkan mulut kering dan membutuhkan asupan cairan. Mulut kering
menyebabkan kesulitan dalam mengunyah, menelan, dan berbicara jika
tidak diberi tambahan cairan. Pasien dengan SS dapat mengalami
pembesaran kronis pada kelenjar ludah dan juga dapat terjadi infeksi
pada kelenjar.
Tumor
Kelenjar Ludah
Sebagian
besar tumor kelenjar ludah terjadi pada kelenjar parotis (80%),
sekitar 10-15% terjadi pada kelenjar submandibula, dan sisanya pada
sublingual maupun pada kelenjar ludah minor. Sekitar 80% tumor
parotis dan 50% tumor submandibula merupakan tumor jinak. Sebaliknya
lebih dari 60% tumor yang terjadi pada kelenjar sublingual maupun
kelenjar ludah minor merupakan tumor ganas. Resiko
keganasan akan meningkat sesuai dengan bertambahnya ukuran tumor.
Sekitar 80% tumor terjadi pada usia dewasa. Tumor pada anak-anak
biasanya terletak pada kelen jar parotis, dan sekitar 65% tumor
anak-anak bersifat jinak.
1. Tumor Jinak
a. Adenoma
Pleomorfik
Adenoma pleomorfik
merupakan tumor kelenjar liur yang paling banyak ditemukan, berkisar
60%-80% dari seluruh tumor jinak di kelenjar liur. Sekitar 85%
terdapat di kelenjar parotis. pada kedua lobus.
Adenoma pleomorfik
paling sering ditemukan pada usia dekade keempat sampai keenam,
jarang ditemukan pada anak, dengan frekuensi lebih tinggi pada wanita
dengan perbandingan wanita dengan pria 3:2. Bangsa
kulit putih lebih tinggi risiko mendapat adenoma pleomorfik dibanding
dengan kulit berwarna.
b. Monomorphic
Adenoma
Monomorphic adenoma
merupakan tumor dengan penampakan sel yang sama dan seragam.
c. Papillary
Cystadenoma Lymphomatosum
Papillary
Cystadenoma Lymphomatosum juga dikenal dengan tunor Warthin,
merupakan tumor kedua yang paling sering muncul di kelenjar parotis.
Predileksi tumor ini pada laki-laki pada decade ke lima dan delapan.
Tumor ini besifat bilateral pada 6-12% kasus. Secara klinis, tumor
ini bersifat lambat pertumbuhannya, berbatas tegas, tidak nyeri
kecuali terjadi superinfeksi.
d. Oncocytoma
Oncocytoma merupakan
tunor benigna yang jarang terjadi yaitu sekitar 1% neoplasma
kelenjar saliva. Tumor biasanya terjadi pada kelenjar ludah baik pada
laki-laki maupun wanita pada dekade ke enam. Oncocytoma merupaka
tumor solid, bulat, yang terlihat pada kelenjar ludah mayor namun
jarang di intraoral serta bersifat bilateral.
e. Basal Cell
Adenoma
Tumor ini bersfat
tumbuh lambat, berupa massa yang tidak sakit dan insidensinya hanya
1-2% dari keseluruhan kasus tumor kelenjar ludah. Predileksi lesi
pada laki-laki dengan perbandingan 5 :1. Sekitar 70% lesi terjadi di
kelenjar parotis, dan apabila terjadi pada kelenjar ludah minor
biasanya terjadi pada bibir atas.
f. Canalicular
Adenoma
Lesi ini bersifat
predominan pada usia lebih dari 50 tahun dan biasanya terjadi pada
wanita. Sekitar 80% terjadi pada bibir bawah dengan pertumbuhan lesi
yang lambat, mobil, dan asimtomatik.
g. Myoepithelioma
Lesi ini biasanya
terjadi pada kelenjar parotis dan palatum merupakan lokasi yang
sering terjadi. Tidak terdapat predileksi berdasarkan jenis kelamin,
dan biasanya terjadi pada dewasa di usia sekitar 53 tahun. Lesi
berbatas tegas, asimptomatik, dengan pertumbuhan lambat.
h.
Adenoma
Sebasea
Lesi jenis ini
jarang terjadi dan muncul dari glandula sebasea yang terdapat di
dalam jaringan kelenjar ludah. Kelenjar
parotis merupakan lokasi yang sering kali terlibat.
i. Ductal Papiloma
Ductal papiloma
merupakan subset tumor jinak yang muncul dari duktus ekskretori,
predominan pada kelenjar ludah minor. Terdapat tiga bentuk dari tumor
ini yaitu simple ductal papiloma, inverted ductal papiloma, dan
sialadenoma papiliferum.
2. Tumor Ganas
a. Mucoepidermoid
Carcinoma
Mucoepidermoid
carcinoma merupakan kondisi malignant yang biasan terjadi di kelenjar
parotis, dan kedua pada kelenjar submandibula dengan palatum sebagai
lokasi yang paling umum terjadi. Insidensi tertinggi terjadi pada
decade ketiga hingga kelima kehidupan. Laki-laki dan perempuan
memiliki persentase yang sama untuk mengalami insidensi.
Lesi terdiri atas
sel mucus dan epidermal dan tingkat keparahannya didasarkan pada
rasio sel epidermal terhadap sel mukus. Gejala klinis yang biasanya
terjadi adalah adanya rasa sakit dalam jangka waktu yang lama,
ulserasi pada jaringan yang melapisi, dan jika nervus fasialis
terlibat, terdapat kemungkinan terjadi facial palsy.
b. Adenoid Cystic
Carcinoma
Lesi ini mencakup 6%
dari seluruh kasus tumor kelenjar ludah dan merupakan lesi ganas
yang sering terjadi padakelenjar submandibula maupun kelenjar ludah
minor. Lesi dapat terjadi baik pada pria maupun wanita pada decade
kelima kehidupan.
Secara klinik lesi
merupakan massa unilobular, sakit, dan pada tumor parotis dapat
menyebabkan paralisi nervus fasialis pada sebagian kecil penderita.
Lesi ini berkembang lambat yang menyebabkan tertundanya diagnosis
hingga beberapa tahun. Secara radiografik, lesi berkembang hingga
merusak tulang sekitar. Metastase hingga ke paru-paru sering terjadi
dibandingkan ke limfonodi regional.
c. Acinic Cell
Carcinoma
Acinic cell
carcinoma biasanya terdapat pada jaringan parotis yaitu sekitar
90-95%, dengan frekuensi terjadi pada wanita di decade kelima
kehidupan. Lesi ini merupakan karsinoma kelenjar ludah kedua
terbanyak pada anak-anak.
Lesi bersifat tumbuh
lambat, dengan rasa nyeri. Lobus superficial dan inferior pole
kelenjar parotis merupakan area yang paling sering terlibat.
Keterlibatan
kelenjar secara bilateral dilaporkan hanya terjadi pada sekitar 3%
kasus.
d.
Carcinoma Ex Pleomorphic Adenoma
Carcinoma
ex pleomorphic adenoma merupakan tumor maligna yang timbul di dalam
pleomorphic adenoma dan berasal dari epitel. Lesi bersifat tumbuh
lambat, dan biasanya terjadi 15-20 tahun sebelum lesi mengalami
pertumbuhan ukuran. Lesi biasa terjadi pada adenoma pleomorfik yang
tidak terawat dalam jangka waktu lama.
e.
Adenocarcinoma
Adenocarcinoma
terjadi pada epitel duktus salivarious. Kelompok
neoplasma ini dibagi berdasarkan struktur dan karakteristiknya. Tipe
lesi ditegakkan dengan uji histologis untuk menunjang diagnosis dan
perawatan yang tepat.
f.
Limfoma
Limfoma
primer dideskripsikan sebagai situasi dari manifestasi suatu penyakit
yang kemungkinan muncul dari jaringan limfe di dalam kelenjar ludah.
Penyakit limfoma yang paling umum yaitu non-Hodgin’s limfoma yang
biasan terjadi pada pasien dengan autoimun. Kelenjar parotis
merupakan lokasi yang paling sering terlibat diikuti dengan kelenjar
submandibular, dan secara klinis dikarakteristikkan sebagai
pembesaran kelenjar tanpa rasa nyeri atau adenopati.
PENEGAKAN
DIAGNOSA PENYAKIT KELENJAR LUDAH
Pemeriksaan
Radiologis
Teknik
radiografi yang banyak digunakan adalah teknik radiograf oklusal dan
panoramik (OPG), namun tidak semua sialolith dapat terlihat melalui
pemeriksaan radiografis konvensional karena sebagian kecil batu
saliva tersebut mengalami hipomineralisasi dan superimposisi dengan
jaringan lain yang bersifat radiodense.
Sialografi
Sialografi merupakan
pemeriksaan untuk melihat kondisi duktus dengan menggunakan kontras.
Dengan pemeriksaan ini kita dapat mengidentifikasi adanya
iregularitas pada dinding duktus, identifikasi adanya polip, mucous
plug atau
fibrin, serta area granulomatosa. Selain itu dapat pula
diidentifikasi adanya kemungkinan obstruksi duktus maupun stenosis.
Pemeriksaan dimulai dengan melakukan identifikasi terhadap duktus
Stensen dan Wharton. Langkah selanjutnya adalah dilakukan dilatasi
duktus. Saat dilatasi duktus sudah maksimal, maka dapat dimasukkan
kateter sialografi. Pada pemeriksaan sialografi ini digunakan
kontras, yang bisa berupa etiodol atau sinografin.
Sialografi dapat
memberikan pemandangan yang jelas pada duktus secara keseluruhan dan
dapat memberikan informasi mengenai area yang tidak dapat dijangkau
dengan sialoendoskop, misalnya pada area di belakang lekukan yang
tajam dan striktur. Kekurangan dari pemeriksaan sialografi adalah
paparan radiasi dan hasil positif palsu pada pemeriksaan batu karena
adanya air
bubble (gelembung
udara).
Tomografi
computer
Pemeriksaan ini
merupakan salah satu pilihan untuk mengevaluasi sistem duktus dan
parenkim pada kelenjar saliva. Identifikasi dapat dilakukan pada
potongan aksial, koronal maupun sagital. Dengan pemeriksaan ini dapat
diidentifikasi adanya iregularitas pada dinding duktus dengan melihat
adanya penebalan dan penyangatan pada dinding duktus. Pada obstruksi
yang disebabkan karena batu, kalsifikasi dapat dilihat berupa masa
hiperdens tanpa penyangatan pada pemeriksaan tomografi komputer.
Adanya penyangatan dapat merupakan indikasi adanya obstruksi
sialodenitis akut.
Sialografi
tomografi komputer
Pemeriksaan ini
merupakan kombinasi antara pemeriksaan sialografi dengan menggunakan
kontras dan pemeriksaan tomografi komputer. Pemeriksaan dilakukan
dengan memasukkan kateter pada duktus, kemudian mengisinya dengan
kontras, lalu dilakukan pemeriksaan tomografi komputer. Pemeriksaan
ini digunakan untuk mengevaluasi parenkim secara detail.
Magnetic
resonance imaging dan magnetic resonance sialography
Pemeriksaan dengan
MRI juga dapat mengidentifikasi adanya kelainan pada kelenjar saliva.
Dengan pemeriksaan ini akan tampak perbedaan antara struktur duktus
dan parenkim. Pemeriksaan Magnetic
Resonance Sialography dapat
digunakan untuk mengidentifikasi struktur duktus pada kelenjar
parotis dan submandibula dengan melakukan sialografi dengan
menggunakan kontras Magnetic
Resonance.
Ultrasonografi
Dalam mendiagnosis
kelainan pada kelenjar saliva terkadang diperlukan pemeriksaan
ultrasonografi dengan resolusi tinggi. Pemeriksaan dengan
ultrasonografi bermanfaat dalam mengidentifikasi massa dan membedakan
konsistensi massa tersebut, apakah padat atau kistik. Ultrasonografi
yang digunakan pada pemeriksaan kelenjar saliva adalah ultrasonografi
dengan transduser beresolusi tinggi, yaitu 7,5-10,0 MHz. Pada kasus
abses atau massa kistik kelenjar saliva terkadang dilakukan aspirasi
jarum halus. Pada kasus ini, ultrasonografi dapat dimanfaatkan untuk
menjadi panduan dalam aspirasi. Pemeriksaan ultrasonografi juga
penting dilakukan untuk melihat adanya kelokan atau cabang-cabang
duktus, yang bisa menimbulkan komplikasi pada proses obstruksi.
Kekurangan pada
pemeriksaan dengan ultrasonografi adalah, alat ini tidak dapat
memvisualisasi kelenjar saliva secara keseluruhan. Pada penegakan
kelainan obstruksi kelenjar saliva menggunakan ultrasonografi sering
sulit untuk menentukan ukuran batu secara tiga dimensi begitu juga
dengan struktur stenosisnya. Selain itu, pemeriksaan dengan alat ini
tidak dapat memberikan informasi yang cukup jelas mengenai diameter
bagian distal obstruksi sehingga sulit memastikan apakah duktusnya
cukup lebar dan lurus sehingga memungkinkan masuknya instrumen pada
endoskopi terapeutik.
TREATMENT
PADA PENYAKIT GLANDULA SALIVA
Selama fase akut,
terapi yang dibutuhkan adalah terapi suportif. Perawatan dasar pada
kelainan glandula saliva meliputi pemberian analgesik, antibiotik,
dan antipiretik apabila dibutuhkan. Selain itu, terapi pada glandula
salivarius dapat dilakukan dengan cara:
Sialolith
yang berada pada atau dekat dengan orifice
duktus
dapat dihilangkan dengan cara meminta pasien untuk minum air yang
dicampur dengan tetesan jeruk nipis atau lemon sehingga terjadi
peningkatan aliran saliva, kemudian dokter gigi dapat memijat
glandula saliva dengan pelembab yang hangat dan mendorong batu agar
keluar dari duktus (Vorvick, 2011). Namun, apabila sialolith
terletak lebih dalam dari orifice
duktus,
maka dapat dilakukan operasi untuk pengambilan sialolith. Sialolith
yang terletak pada intraglandula, maka perawatan yang dianjurkan
adalah dengan mengambil seluruh glandula saliva yang terkena.
Eksisi
Tindakan ini
merupakan terapi pilihan untuk mukokel. Namun, apabila hanya
dilakukan aspirasi cairan, maka hasil yang diberikan tidak memberikan
kesembuhan dalam waktu yang lama karena akan terjadi rekurensi,
sehingga tindakan yang paling baik untuk mukokel adalah pengambilan
mukokel beserta glandula saliva yang terlibat untuk mencegah
rekurensi. Terapi pilihan untuk ranula juga berupa eksisi lesi
beserta glandula yang terlibat, sehingga rekurensi tidak terjadi.
Marsupialisasi
Merupakan
terapi yang paling tua yang digunakan untuk menangani ranula. Rerata
kegagalan terapi ini sebesar 61-89% dengan rekurensi setelah 6-12
minggu setelah operasi. Penekanan/kompresi pada bagian bawah kista
yang berasal dari lidah menyebabkan timbulnya penutupan kista secara
prematur. Hal ini menyebabkan ranula terbentuk kembali dan terjadi
rekurensi. Menutup kavitas kista dengan gauze/kassa
selama 7-10 hari dapat meningkatkan tingkat keberhasilan perawatan.
Pemberian
antibiotik
Apabila terdapat
kelainan pada glandula saliva yang diakibatkan oleh infeksi bakteri
yang menghasilkan pus atau demam, contohnya pada sialadenitis.
Antibiotik yang diberikan pertamakali (first
line)
harusnya antibiotik dengan spektrum yang luas (broad
spectrum)
seperti golongan Penicillin. Antibiotik yang termasuk ke dalam
golongan penicillin yaitu Ampicilin dan Amoksisilin yang aktif
melawan bakteri gram negatif dan positif. Untuk pemberian oral,
amoksisilin merupakan obat pilihan karena diabsorbsi lebih baik
daripada ampisilin. Dosis yang umumnya digunakan adalah 500 mg tiap 8
jam dengan waktu pengobatan minimal 5 hari. Antibiotik yang lain
adalah golongan Clindamycin yang efektif terutama terhadap bakteri
gram negatif. Pada 48 jam pertama diberikan melalui intravena dengan
dosis 900 mg/8 jam, kemudian dilanjutkan pemberian secara oral dengan
dosis 300 mg/8 jam. Apabila terapi antibiotik belum berhasil, dapat
diberikan antibiotik golongan lain yaitu sefalosporin. Second
line terapi
antibiotik adalah dengan kultur sensitifitas untuk mengetahui nama
bakteri spesifik penyebab infeksi dan antibiotik yang sensitif
terhadap bakteri tersebut.
Radioterapi
Terapi radiasi pada
umumnya diberikan pada pembengkakan glandula salivarius dan lesi-lesi
maligna. Pada pembengkakan glandula parotis yang disebabkan oleh
infeksi HIV diberikan terapi radiasi eksternal dengan dosis 24 Gy.
Laser
CO2
Keuntungan dari
perawatan ini adalah perdarahan dan jaringan parut minimal,
visualisasi selama prosedur baik, dan komplikasi post-operatif
minimal. Terapi ini banyak dipilih untuk menangani sialolithiasis dan
mukokel (Ata-Ali dkk., 2010).
Extra-corporeal
shock wave lithotripsy (ESWL)
Terapi ini merupakan
terapi dengan invasi minimal untuk pengambilan sialolith dengan
memanfaatkan gelombang dari alat yang disebut lithotripter yang
memiliki sumber elektromagnetik berbentuk silinder yang menghasilkan
gelombang bertekanan, yang apabila difokuskan pada sialolith dapat
memecah sialolith menjadi berukuran < 2 mm sehingga memungkinkan
keluarnya sialolith secara spontan (DeBurgh Norman dan McGurk, 1995).
Setelah ESWL dilakukan, dilanjutkan dengan ultrasound
kontinyu (7,5 MHz) 5 kali seminggu selama 30 menit. Setelah itu di
follow-up
setelah
1 minggu dan 1, 3, 6, dan 12 bulan (Capaccio dkk., 2002). Selama
proses ESWL, sialogoues
dan/atau pemijatan glandula dapat dilakukan untuk membantu
pengeluaran fragmen sialolith dari duktus (Siddiqui, 2002).
Gambar
5. Mesin
liptotripsi untuk sialolith
SIALOLITHIASIS
Pasien
wanita berusia 55 tahun datang dengan keluhan nyeri dan pembengkakan
ekstraoral pada regio posterior kiri rahang bawah selama 6 hari
(Gambar 6).
Gambar
6. Terlihat
pembengkakan ekstraoral pada corpus mandibula sebelah kiri
Pasien
menceritakan bahwa pembengkakan telah terjadi selama 6 bulan dan
terasa sakit, namun rasa sakit dapat hilang dengan sendirinya.
Pembengkakan ini juga mengganggu proses pengunyahan pasien, tidak
terdapat cairan pada ekstraoral maupun intraoral. Pasien mendatangi
praktek dokter, kemudian diberikan obat (pasien lupa obat apa saja
yang diberikan) dan pembengkakannya mengecil. Namun, 6 hari
belakangan pasien merasakan nyeri yang sama pada lokasi yang sama.
Pemeriksaan obyektif menunjukkan bahwa tidak terdapat asimetri pada
wajah bagian atas hingga tengah. Pembengkakannya berbentuk oval dan
meluas hingga symphisis mandibula pada bagian anterior dan angulus
mandibula pada bagian posterior. Perluasan pada bagian superior tidak
terlalu terlihat dan pada bagian inferior, pembengkakan tidak
melewati midline.
Regio submental terlihat normal. Kulit pada permukaan pembengkakan
terlihat normal dan tidak tertarik. Pada palpasi, tidak didapatkan
peningkatan suhu dan tulangnya keras serta dapat digerakkan.
Pembengkakan ini tidak melekat pada struktur dibawahnya dan tidak
terdapat sensasi kesemutan/parestesia. Basis mandibula tampak intak
dan tidak terdapat kliking pada TMJ atau deviasi pada saat
bergerak,tidak terdapat pergerakan yang berlebihan atau pembengkakan
sendi. Pembukaan mulut tidak terganggu, limfonodi submandibula
sebelah kiri membesar, teraba, dengan konsistensi yang agak keras.
Muara duktus Stensen normal dengan aliran saliva yang juga normal.
Namun, ketika dilakukan pemeriksaan pada duktus Warthon tampak kering
dengan aliran saliva yang sedikit.
Gambar
7. Aliran
saliva tampak sedikit pada pemeriksaan muara duktus Warthon
Palpasi
bimanual pada glandula submandibula kiri menimbulkan rasa nyeri tekan
pada intraoral. Kemudian dilakukan foto rontgen oklusal pada rahang
bawah dan memperlihatkan adanya lesi radiopaque dengan dinding
berbatas tegas, diameter 1 mm dan terletak pada anterior dasar mulut.
Gambar
8. Rontgen
oklusal memperlihatkan adanya sialolith pada rahang bawah sebelah
kiri
Sialolith
diambil dengan eksisi dari intraoral dengan anestesi lokal dan tampak
berwarna putih kekuningan. Tidak dilaporkan adanya kontraindikasi
post-operatif.
Gambar
9. Eksisi
dari intraoral
Gambar
10. Sialolith
yang telah diambil
RANULA
Seorang
wanita usia 16 tahun datang ke Klinik San Paolo, Brazil dengan
keluhan adanya pembengkakan pada dasar mulut selama 28 hari yang
mengganggu proses bicara dan mengunyah. Sebelumnya, pasien pernah
menjalani insisi dan drainase pada lesi yang sama 14 hari sebelumnya.
Tidak terdapat perubahan pada kondisi sitemik. Pada pemeriksaan
intraoral didapatkan pembengkakan pada dasar mulut sebelah kiri yang
meluas dari midline
mandibula hingga regio molar pertama, konsistensi kunak, permukaan
halus, kebiruan dengan diameter 3,5 cm. Ada riwayat trauma yang
menyebabkan retensi glandula saliva, sehingga dokter mendiagnosa lesi
tersebut sebagai ranula (Gambar 11).
Terapi
yang dipilih adalah marsupialisasi dengan anestesi lokal. Membrana
yang menutupi pembengkakan di eksisi dan semua cairan mukus yang ada
diekstravasasi (Gambar 12), kemudian dijahit menggunakan benang
Poligalaktina 910 dengan ukuran 4-0 (Vicryl) (Gambar 13 dan 14).
Jaringan yang diambil dikirim ke bagian patologi anatomi dan
dipastikan bahwa lesi tersebut adalah ranula. Daerah yang dijahit
dirawat hingga mengalami resorbsi benang yang komplit. Tidak
dikeluhkan adanya komplikasi post-operasi dan tidak ada rekurensi
setelah 1 tahun operasi dilakukan.
Gambar
11.
Ranula pada dasar mulut sebelah kiri;
Gambar 12.
Drainase cairan mukus
Gambar
13.
Diseksi pada area yang terlibat menggunakan shears
rhomb
Gambar
14.
Area yang telah mengalami marsupialisasi
Gambar
15. Empat
belas hari setelah post-operatif
ADENOMA
PLEOMORFIK PAROTIS
Seorang
wanita umur 55 tahun, datang ke poliklinik THT RS.Dr.M.Djamil Padang
tanggal 22 Juli 2009 (No.MR.65 34 70) kiriman dokter spesialis THT-KL
dengan diagnosis tumor campur parotis dan hasil BAJAH terlampir. Dari
anamnesis didapatkan keluhan utama benjolan di bawah telinga kiri
yang makin lama makin besar sejak 16 tahun yang lalu. Benjolan tidak
nyeri dan tidak merah, tidak panas, tidak disertai demam. Telinga
kiri kadang-kadang berdengung. Tidak ada kesulitan membuka mulut,
mulut tidak terasa kering. Tidak dikeluhkan wajah mencong atau
kesulitan menutup mata. Riwayat penyakit asam urat tidak ada. Riwayat
hidung tersumbat, hidung berdarah, dan penglihatan ganda tidak ada.
Benjolan lain di leher tidak ada. Tidak terdapat penurunan berat
badan. Pada pemeriksaan fisik didapatkan keadaan umum baik, kesadaran
komposmentis kooperatif. Pada pemeriksaan telinga, hidung dan
tenggorok tidak didapatkan kelainan. Pemeriksaan pendengaran dengan
penala dalam batas normal. Regio parotis sinistra didapatkan benjolan
ukuran 12x10x8 cm, kenyal padat, tidak ada bagian yang fluktuatif,
tidak nyeri tekan, tidak terdapat tanda-tanda radang, permukaan
licin, terfiksir pada jaringan disekitarnya (gambar 16).
Gambar
16.
Pasien sebelum operasi
Tidak
ditemukan pembesaran kelenjar getah bening leher. Pada pemeriksaan
wajah tanda-tanda kelumpuhan saraf fasialis tidak ditemukan. Hasil
BAJAH tanggal 21 Juli 2009 dengan register no S.853.09, kesannya
adalah tumor campur kelenjar liur dan tidak tampak sel-sel ganas
(gambar 17).
Gambar
17. Sitologi
tumor campur kelenjar liur
Saat
itu ditegakkan diagnosis tumor campur (mixed
tumor) parotis
sinistra. Rencana dilakukan pemeriksaan CT Scan, pemeriksaan darah
rutin, kimia darah, fungsi hati, dan ginjal, Rontgen torak PA, EKG,
untuk persiapan parotidektomi dalam narkose umum. Pada tanggal 25
Juli 2009 didapatkan hasil pemeriksaan laboratorium darah didapatkan
hasil yang normal yaitu; haemoglobin 14,8gr%, leukosit 8.300/mm3,
trombosit 210.000, hematokrit 45%, PT 10,5 APTT 33,5, Gula darah
random 153mg/dl, SGOT/SGPT 28/26 u/l, alkali fosfatase 213, ureum 36
mg/dl, kreatinin 0,7 mg/dl, natrium (Na+) 143nmol/L, kalium (K+) 4,3
nmol/L, chlorida (Cl-) 101 nmol/L. Dari CT Scan parotis terlihat
massa isoden
inhomogen
dengan
batas tegas, tepi irreguler
disertai
kalsifikasi, massa meluas ke daerah parafaring dan subkutis. Tidak
nampak pembesaran kelenjar limfa leher. Kesan adalah tumor parotis
(Gambar 18).
Gambar
18. CT
Scan parotis potongan koronal
Direncanakan
untuk dilakukan parotidektomi. Berdasarkan konsul dengan bagian
Penyakit Dalam saat ini dapat dilakukan tindakan operasi dalam
narkose dengan risiko rendah. Tanggal 25 Agustus 2009 dilakukan
operasi pengangkatan tumor parotis dalam narkose.
Laporan
operasi:
Pasien
tidur telentang di meja operasi dalam narkose
Dilakukan
aseptik antiseptik pada daerah operasi.
Dibuat
insisi kulit pada daerah preaurikuler setinggi tragus dari kranial
ke kaudal melingkari ujung kaudal daun telinga sampai pada tip
mastoid dan dilanjutkan ke kaudal mengikuti kerutan kulit angulus
mandibula sepanjang 1/3 panjang angulus mandibula, irisan
dilanjutkan kearah kaudal sepanjang otot sternokleimomastoideus.
Kulit
dipisahkan secara tumpul dari jaringan di bawahnya.
Terlihat
massa tumor dengan ukuran yang cukup besar melengket pada parotis
pada bagian posteroinferior sehingga mendorong kelenjar parotis
kearah anterosuperior. Tumor terlihat berkapsul.
Dilakukan
pembebasan massa tumor dari daerah sekitarnya seperti dari otot
sternokleidomastoideus, dan daerah angulus mandibula.
Massa
tumor dibebaskan secara tumpul dari kelenjar parotis. Saraf fasialis
tidak dapat diidentifikasi karena kelenjar parotis telah terdorong
ke anterosuperior sehingga menyulitkan mencari landmark
saraf
fasialis.
Dilakukan
pembebasan massa tumor dari otot-otot digastrik, maseter dan
stilohioideus. Massa tumor dapat diangkat secara komplit. Didapatkan
massa tumor berkapsul permukaan berlobus-lobus, konsistensi kenyal
padat, ukuran 10cmx8cmx7cm (gambar 19).
Perdarahan
diatasi, dilakukan penjahitan lapis demi lapis, dipasang salir.
Operasi
selesai.
Gambar
19. Adenoma
Plemorfik parotis
Terapi
diberikan antibiotik ceftazidime 2 x 1 gr IV, gentamisin 2x80gr IV
dan analgetik tramadol drip dalam ringer laktat 16 tetes per menit.
Kondisi umum pasien baik, kesadaran baik dan kooperatif, tidak
ditemukan adanya perdarahan dari luka operasi, tidak ada tanda
kelumpuhan saraf fasialis, tidak ada demam. Perdarahan melalui salir
sebanyak 18 cc. Hasil pemeriksaan laboratorium darah rutin pasca
operasi adalah haemoglobin 11,8g%, leukosite 12.800/mm3, trombosit
254.000/mm3. Terapi antibiotik dilanjutkan, analgetik diganti dengan
asam mefenamat 3x500mg peroral.
Pada
hari ke tiga pasca operasi didapatkan kondisi umum pasien baik, tidak
demam, tidak ada tanda-tanda kelumpuhan saraf fasialis (gambar 20).
Pada pemeriksaan lokalis daerah parotis kiri luka operasi kering,
ditemukan edema, tidak terdapat fluktuasi, tidak ditemukan tanda
tanda infeksi. Pada kantong salir didapatkan darah 8 cc. Terapi
antibiotik dan analgetik dilanjutkan. Salir dilepas.
Gambar
20. Penilaian
fungsi motorik saraf fasialis
Pada
hari keenam pasca operasi, kondisi umum pasien baik, tidak ada demam,
luka operasi kering dan tidak ada fluktuasi. Jahitan dilepas selang
seling. Terapi ceftazidime 2x1gr IV dan asam mefenamat jika perlukan.
Pada
hari kedelapan tanggal 2 September 2009, jahitan sudah dibuka
seluruhnya, kondisi umum pasien baik, tidak ada demam, tidak ada
kelumpuhan saraf fasialis, tidak ada kemerahan ataupun keringat pada
daerah parotis kiri saat mengunyah. Luka operasi baik. Tidak ada
keluhan dalam membuka mulut. Tidak ada muncul pembengkakan di daerah
parotis kiri.
Hasil
pemeriksaan histopatologi tumor adenoma pleomorfik parotis tidak
ditemukan tanda-tanda ganas. Pasien boleh pulang, dan dianjurkan
untuk kontrol 1 minggu lagi. Pada tanggal 9 september dan 28
September, pasien kontrol di poliklinik THT-KL. Didapatkan kondisi
umum pasien baik, luka operasi baik tidak terdapat fistula (gambar
21). Tidak ditemukan adanya keringat ataupun kemerahan pada daerah
parotis kiri saat mengunyah. Tidak ada keluhan membuka mulut. Tidak
ditemukan adanya fistula. Tidak ada muncul pembengkakan di daerah
parotis kiri. Pasien dianjurkan untuk kontrol 1 bulan lagi.
Gambar
21. Satu
bulan pasca operasi
DAFTAR
PUSTAKA
Atmadja
I., 1984, Marsupialisasi Ranula,
Forum Ilmiah 1984 FKG
UniversitasTrisakti.
Jakarta. 1984. h: 567-569.
Capaccio P, Monfort
A, Moroni M, Ottaviani F.
Salivary
Stone
Lithtoripsy
in The
HIV Patient.
Oral
Surgery, Oral
Medicine,
Oral Pathology, Oral Radiology &
Endodonties,
2002;
93(5):525-527.
DeBurgh NJE
dan
McGurk M.
1995.
Extracorporeal
Piezoelectric
Shockwave
Lithotripsy
(ESWL) of Salivary
Duct
Stones
(Sialolithotripsy).
In: Color Atlas and Text
Books
of Salivary
Duct
and Lacrimal,
Glands
Ist Ed,
Mosby-
Wolfe, London.
Firdaus
MA dan Pulungan MR. 2010. Penatalaksanaan Adenoma Pleomorfik. Jurnal
Bagian Telinga Hidung Tenggorok Bedah Kepala Leher: 1-9.
Greenberg
MS, Glick M, Ship JA. 2008. Burket’s
Oral Medicine 11th
Ed.
BC Decker Inc. Hamilton.
Jaishankar
S, Manimaran, Kannan, Mabel C. 2010. Ranula: A Case Report. JIADS
1:
51-53.
Pagare
SS, Krishnamurthy V, Dua S. 2008. Submandibular Sialolithiasis: A
Case Report. Scientific
Journal
2: 1-5.
Shehata E.A, and
Hassan H.S., 2008, Surgical
Treatment of Ranula: Comparison between Marsupialization and
Sublingual Sialadenectomy in Pediatric Patients, Annals
of Pediatric Surgery 4(3&4) 89-93
Siddiqui SJ.
Sialolithiasis: An
Usually
Large
Submandibular
Salivary
Stone.
British
Dental Journal,
2002;
1193:89-91.
Tamin
S dan Yassi D. 2010. Penyakit Kelenjar Saliva dan Peran
Sialoendoskopi untuk Diagnostik dan Terapi. J.THT
UI:
1-16.
Vorvick
LJ. 2011. Salivary Gland Disorders. American
Accreditation HealthCare Commission:
114-121.
Zorzetto
DL, Marzola C, Toledo-Filho JL, Azenha MR, Cavalieri-Pereira L,
Silva-Rosa LP. 2010. Ranula Surgical Treatment by The
Marsupialization Technique. J.
Surg: 309-315.
Sekian penjelasan singkat saya tentang Kelainan Pada Kelenjar Saliva, semoga bisa membantu. Kelenjar Saliva