Korosi Pada Titanium Implan
Biokompatibilitas
Biokompatibilitas
(kompatibilitas
jaringan) menggambarkan kemampuan suatu material untuk melakukan
respon host yang tepat seperti yang diharapkan. Sebuah
material yang biokompatibel tidak sepenuhnya inert.
Pada kenyataannya, relevansi respon host
sangat
penting. Adaptasi ini biasanya dievaluasi oleh para ahli sesuai
dengan panduan spesifik dengan
perbandingan
produk-produk yang sudah di pasaran yang sangat berperan penting
(
Schmalz,
2009).
Selain itu,
konsep klasik biokompatibilitas (inert biomaterial), mempunyai
pengaruh khusus pada biomaterial dalam metabolisme sel yang
bersebelahan yang
semakin
memperoleh peranan penting (bahan bioaktif). Permukaan
material secara umum dapat digunakan (biofungsionalisasi) untuk
melapisi permukaan titanium sinyal protein (protein morphogenetic
tulang untuk meningkatkan lapisan jaringan tulang). Dalam hal
regenerasi tulang, materi determ
osteoconductive
digunakan untuk bahan sebagai perangsang untuk pertumbuhan
preosteoblasts, sedangkan bahan osteoinductive menginduksi
pembentukan tulang baru dengan diferensiasi sel-sel jaringan ikat
lokal dari tulang pluripotent
pembentukan
sel
(
Schmalz,
2009).
Biokompatibilitas
dari
suatu bahan ditentukan terutama oleh pelepasan zat terlarut melalui
korosi.
Zat
ini dapat merusak sel-sel atau dengan merangsang sintesis protein
seluler tertentu, menyebabkan inflamasi serta penyerapan permukaan
atau akumulasi protein, atau interaksi dari bahan matriks
ekstraseluler. Adhesi protein dipengaruhi oleh komposisi kimia
bahan-bahan dan karakteristik fisik
(Schmalz,
2009).
Karakteristik Biokompatibilitas
Toksisitas
Toksisitas
material menggambarkan kemampuan untuk merusak sistem biologis dengan
cara kimia. Toksisitas
yang lebih tinggi terjadi dalam tubuh (hewan, manusia), toksisitas
lokal muncul di tempat aplikasi yang berbeda dari keracunan
sistemik, di mana efek samping terjadi di suatu daerah jauh dari
lokasi aplikasi. Dalam kedokteran gigi, reaksi lokal terjadi terutama
di pulpa, periodonsium periapikal dan mukosa mulut atau gusi
(
Schmalz,
2009).
Alergi
Istilah alergi
menunjukkan suatu
reaksi yang berubah
(alergi)
terhadap suatu bahan tertentu (alergen) yang melibatkan sistem imun
tubuh, hanya terjadi pada orang-orang tertentu.
Reaksi
alergi terhadap zat dapat dipicu jika oganisme tersebut telah peka
terhadap suatu senyawa. Jenis reaksi alergi dapat dibedakan menjadi
empat yaitu jenis
I, II dan III dapat diobati oleh antibodi (IgE, IgG),
sedangkan tipe
IV terutama disediakan oleh sel-sel.
Material kedokteran gigi dapat menyebabkan reaksi alergi tipe I
(reaksi cepat) dan tipe IV (reaksi tertunda). Konsentrasi yang
menyebabkan reaksi pada orang yang sudah peka bervariasi antara satu
subjek dengan subjek lain. Tingkat dosis menyebabkan reaksi alergi
yang lebih rendah daripada menyebabkan reaksi beracun
(Nasution,
1992).
Iritasi
disebabkan oleh suatu bahan dapat terjadi pada
setiap
orang, tidak melibatkan sistem imun tubuh dan ada beberapa
faktor-faktor tertentu yang memegang peranan seperti
keadaan
permukaan kulit, lamanya bahan bersentuhan dengan
kulit,
usia pasien, adanya oklusi dan konsentrasi dari bahan
(Nasution,1992).
Inflamasi
Inflamasi
adalah perubahan
yang terlihat pada jaringan yang terkait dengan perubahan
permeabilitas vaskular dan peregangan (dilatasi) yang seringkali
diikuti oleh perembesan leukosit
ke dalam jaringan yang dipengaruhi.
Perubahan ini menyebabkan eritema,
edema, panas, nyeri, dan functio
laesa
dan merupakan tanda-tanda utama adanya inflamasi. Secara khusus,
inflamasi dapat berlangsung melalui tiga tahap yaitu seketika,
akut, dan kronis.
Lekosit berasal dari sumsum tulang (bone
marrow)
akan keluar dari pembuluh darah melalui proses migrasi lintas endotel
(transendotel migration) dalam kondisi normal, contohnya residen
leukosit yang dijumpai di dalam jaringan. Residen leukosit yang
terpenting adalah sel mast (mast cell), sel dendritik periferal,
turunan monosit misalnya dendrosit dermal (histiocytes)
dan makrofag. Residen leukosit mengirim infomasi yang mengawali
proses-proses
inflamasi
seketika (immediate
inflammation).
Inflamasi
seketika hanya dalam hitungan menit diikuti oleh inflamasi akut(acute
inflammation) yang juga berlangsung singkat (dalam hitungan jam) dan
ditandai dengan adanya aliran netrofil ke area inflamasi setelah
keluar dari darah. Jika
masalah belum dapat diatasi, inflamasi akut memberi jalan bagi suatu
proses yang mungkin tidak akan pernah berakhir yakni inflamasi kronis
(chronic
inflammation)
yang didominasi oleh migrasi limfosit dan makrofag ke dalam jaringan
lokal. Lekosit-lekosit yang dikirim ke dalam jaringan-jaringan lokal
pada inflamasi akut dan kronis dinamakan lekosit inflamas
(Indriyanti, 2009).
Karsinogenik
dan Mutagenik
Mutagenisitas
terjadi karena suatu material mampu menimbulkan perubahan didalam gen
reproduksi sel yang kadangkala menyebabkan kerusakan sel dan
terjadinya pertumbuhan sel yang tidak terkendali
(Powers,
2006).
Zat
yang dilepaskan dari suatu bahan dapat menyebabkan perubahan dalam
DNA genomik (genotoxicity).
Sel
memiliki sejumlah mekanisme untuk memperbaiki kerusakan genotoksik.
Atau dapat juga dengan pengalihan kerusakan genetik sel kepada
generasi berikutnya dapat dihindari oleh kematian sel terprogram
(apoptosis),
namun
jika cacat genetik yang ditularkan kepada generasi berikutnya, efek
ini disebut mutagenisitas. Beberapa bahan atau zat dibebaskan dari
mereka mungkin juga mendorong terbentuknya tumor ganas, dengan kata
lain, mereka memiliki efek karsinogenik. Mutagenik dapat dinilai
sebagai indikator dari karsinogenisitas
zat yang dapat secara langsung menyerang DNA
(Schmalz,
2009).
Titanium
Titanium merupakan sebuah logam sangat
aktif dengan potensial reduksi standar yang mendekati aluminium
(Mimura dan Miyagawa,
1996).
Sifat-sifat Titanium
Di sisi lain, titanium memiliki
stabilitas
kimiawi yang sangat baik,
menghasilkan lapisan oksida
yang sangat protektif pada permukaannya,
dan menjadi pasif. Dengan demikian, titanium memiliki ketahanan
korosi yang sangat baik
pada berbagai larutan tes, seperti saliva buatan, larutan Ringer,
0,9% larutan NaCl, atau larutan garam fisiologis. Karena
karakteristik ini dan karakteristik lainnya, titanium digunakan untuk
implant gigi dan restorasi. Akan tetapi, telah dilaporkan bahwa
ketahanan korosi titanium hilang pada larutan yang mengandung
fluoride
(CP titanium) dan alloy titanium tidak bisa tahan paparan terhadap
larutan NaF yang melebihi konsentrasi 0,5%.
Titanium tidak dianggap tahan korosi pada larutan yang mengandung 500
ppm F
(Mimura dan Miyagawa,
1996).
Gel-gel gigi komersial dan obat-kumur
yang mengandung fluoride dengan konsentrasi mulai dari 1000 hingga
10000 ppm, dengan pH antara sekitar 3,5 hingga netral, seringkali
digunakan untuk aplikasi profilaksis pencegahan karies. Pemakaian
obat-kumur atau gel yang mengandung fluoride bisa membahayakan alat
titanium jika pH material profilaksis ini berada di bawah netral
(Boere,
1995).
Dengan
demikian, korosi
titanium kelihataannya tergantung tidak hanya pada konsentrasi
fluoride tapi juga terhadap
pH. Terdapat
hubungan dekat antara
faktor-faktor ini. Akan tetapi,
penelitian-penelitian
yang disebutkan di atas belum mengetahui bagaimana fluoride dan pH
mempengaruhi sifat korosif dari titanium.
Keunggulan
titanium:
Salah
satu karakteristik Titanium yang paling terkenal adalah dia
sama kuat dengan baja tapi
hanya 60% dari berat baja.
Kekuatan
lelah (fatigue strength) yang lebih tinggi daripada paduan
aluminium.
Tahan
suhu tinggi. Ketika
temperatur pemakaian melebihi 150 C maka dibutuhkan titanium karena
aluminium akan kehilangan kekuatannya seacara nyata.
Tahan
korosi. Ketahanan
korosi titanium lebih tinggi daripada aluminium dan baja.
Dengan
rasio berat-kekuatan yang lebih rendah daripada aluminium, maka
komponen-komponen yang terbuat dari titanium membutuhkan
ruang yang lebih sedikit dibanding aluminium
(Campbell, 2006).
Titanium Pada Implan
Dental implan
merupakan metode
penggantian gigi yang
hilang dengan menggunakan benda asing yang ditanamkan ke
dalam tulang rahangsecara
pembedahan. Salah satu jenis bahan dental implan yang terbuat dari
logam dan paling sering digunakan adalah titanium.
Sifat
osseointegration (kemampuan
untuk melekat pada jaringan di sekitarnya
dalam hal in tulang)
yang dimiliki
titanium menjadikan
tulang berkontak langsung dengan permukaan dental implant sehingga
terjadi pertumbuhan tulang disekitar implant
(Massaro dkk, 2006).
Titanium yang
digunakan untuk implant gigi dapat berupa bentuk
titanium murni maupun logam
campur titanium. Selain
memiliki sifat osseointegration titanium juga memiliki
sifat-sifat yang sangat baik diantaranya
memiliki kemampuan material
untuk berinteraksi dengan sel atau jaringan hidup tanpa menimbulkan
reaksi toksik atau memicu reaksi imun saat bekerja
yang baik (biokompabilitas),
dan kemampuan untuk
menahan beban-beban mekanis saat menguyah (biomekanis) yang sangat
baik. Selain itu,
titanium juga bersifat inert
dan tahan
korosi karena dapat membentuk passive
layer,
yaitu lapisan
titanium oksida (TiO2) dengan spontan dan sangat
cepat terjadi dipermukaannya. Lapisan
ini bersifat tidak
larut dalam cairan tubuh sehingga mencegah lepasnya ion-ion logam
yang dapat
bereaksi dengan jaringan tubuh. Jika
terdapat produk korosi dalam waktu yang lama maka akan menyebabkan
proses korosi berlanjut dan dan dapat memicu terjadinya patah baik
pada hubungan permukaan alloy dengan gigi penyangganya, permukaan
gigi penyanga serta badan implan. Dengan
keunggulan tersebut titanium paling banyak digunakan sebagai material
dasar implan gigi, sehingga menjadikannya ideal sebagai bahan dental
implan (Massaro dkk,
2006).
Korosi
Korosi
merupakan reaksi antara logam dan lingkungan yang terjadi secara
elektrokimia dan menyebabkan penurunan mutu logam. Laju korosi
ditentukan oleh berbagai faktor lingkungan. Tetapi yang paling
penting adalah pemasokan O2, pH dan hadirnya ion – ion agresif,
terutama oksida – oksida belerang dan klorida Korosi melibatkan
pergerakan ion logam ke dalam larutan pada anoda dan pertukaran
elektron dari logam kepada katoda. (Trethewey, 1991).
Tipe korosi
Tipe-tipe
korosi terdiri dari korosi
menyeluruh, korosi galvanik, korosi celah, korosi intergranular,
korosi tekanan, korosi erosi
(Sulistjono, 2011).
1. Korosi
menyeluruh
Korosi
ini merupakan jenis korosi yang paling sering dijumpai yang dikontol
oleh reaksi kimia antara permukaan logam dengan media korosifnya
(Sulistjono, 2011). Korosi menyeluruh merupakan korosi yang tidak
dapat dihindarkan dimana semua logam yang terbenam dalam larutan
elektrolit akan mengalami korosi (Adya,2005).
2. Korosi
Galvanik
Korosi
galvanik merupakan korosi yang terjadi karena beda potensial yang
diakibatkan oleh 2 buah logam yang berbeda saling kontak dan berada
pada media/larutan yang konduktif dan korosif dan menyebabkan
terjadinya aliran arus listrik atau perpindahan elektron
(Sulistijono, 2011).
3. Korosi
Celah
Korosi
celah atau crevice
corrosion terjadi
antara dua permukaan tertutup atau pada tempat yang kedap dimana
pertukaran oksigen tidak terjadi. Faktor yang dapat menyebabkan
korosi celah adalah pengurangan pH dan peningkatan konsentrasi ion
–ion klorin (Adya, 2005).
4. Korosi intergranular
Korosi
intergranular sering juga disebut sebagai korosi batas butir.
Biasanya korosi ini banayk terjadi pada stainless
steel
yang mempunyai temperatur sensitis (450-8000C)
(Sulistijono, 2011).
5. Korosi Tekanan
Logam
yang mengalami korosi tekanan bila ada internal
stress
dan media lingkungan yang korosif yang keduanya berjalan stimultan
(Sulistijono, 2011). Permukaan restorasi logam yang berbeda bisa
memiliki celah/lubang kecil. Sebagai konsekuensinya korosi tekanan
akan mudah terjadi (Adya, 2005).
Pengaruh korosi pada implan
Secara
klinis, ketahan terhadap korosi sangat penting untuk sebuah material
gigi karena korosi dapat menyebabkan mengasarnya permukaan,
melemahnya restorasi dan pelepasan unsur-unsur dari logam atau alloy.
Pelepasan unsur bisa menyebabkan perubahan warna jaringan lunak
sekitarnya dan juga reaksi alergi dari pasien-pasien yang rentan.
Terjadinya korosi dapat menyebabkan :
Fraktur
implan
Pengikisan
tulang dan osteolisis
Nyeri
lokal atau pembengkakan
Respon-respon
sitotoksik
(Adya,
2005)
Korosi
Galvanik
Korosi
galvanik adalah tipe korosi yang paling umum, yang biasanya terjadi
pada implant gigi.
Apabila dua atau lebih
alat prostetik gigi yang terbuat dari alloy yang tidak mirip (dengan
potensi elektroda yang berbeda) ditempatkan langsung bersentuhan
sambil terpapar cairan mulut, maka akan terjadi perbedaan potensial
korosi pada aliran arus listrik diantara mereka. Hasilnya adalah
sebuah reaksi disertai oksidasi yang terjadi pada salah satu
permukaan (anoda) dan reduksi pada permukaan yang lain (katoda). Arus
galvanik melewati metal atau sambungan metal dan juga melewati
jaringan sehingga dapat menimbulkan rasa nyeri
(Adya, 2005).
Beberapa faktor yang harus
diperhatikan dari bahan implant, diantaranya adalah harus bersifat
biokompatibel, biomekanis, dan yang terakhir adalah harus dapat
memberikan oseointegrasi di dalam tubuh. Titanium adalah salah satu
bahan implant yang umum digunakan dalam kedokteran gigi. Diantaranya
adalah karena titanium memiiki sifat yang sangat baik seperti
kelembaman kimia, ketahanan mekanis, kepadatan rendah, tidak beracun,
kebal terhadap korosi, dan biolompatibel. Biokompatibiltas dari suatu
bahan implant dan strukturnya sangat penting untuk mendukung fungsi
dari bahan tiruan atau protesa dalam rongga mulut.
Ini berarti bahwa
jaringan-jaringan pasien yang bersentuhan dengan material tidak
menyebabkan keracunan, iritasi, peradangan, alergi, mutagenic atau
karsinogenic. Untuk implant gigi, biokompatibilitas tergantung pada
sifat-sifat korosi/degradasi dan mekanis dari material. Bahan yang
bersifat biokompatibiltas belum tentu bersifat bioaktif untuk
memberikan kemampuan jaringan hidup beregenerasi di sekitar permukaan
implan. Suatu bahan dikatakan bersifat bioaktif tidak hanya
memberikan osteoconductive
tetapi juga mampu memberikan osteoinductive
( Lin and Yen, 2004).
Titanium murni maupun paduannya
memiliki sifat biokompatibilitas dan biomekanis (sifat mekanis yang
sesuai dengan jaringan tubuh) yang lebih baik dari logam lain serta
secara biologi bersifat inert.
Selain itu titanium memiliki ketahanan korosi yang sangat tinggi
yaitu karena dapat dengan spontan membentuk lapisan pasif (passive
layer) yang sangat tipis,
yaitu titanium oksida TiO2
dipermukaannya
(Bagro, 2004). Lapisan
ini memiliki kelarutan yang rendah (electrochemical
degradation)
dan pembentukannya dapat
terjadi baik di lingkungan udara maupun elektrolit. Lapisan TiO2
mempunyai
biokompatibilitas yang baik di dalam tubuh manusia, dan mencegah
lepasnya (leaching)
material dibawahnya ke dalam tubuh pasien. Apabila lapisan ini
terkelupas akibat gaya mekanis atau penyebab lain di permukaan
titanium maka segera material titanium membentuk lapisan titanium
oksida baru dalam orde nano-sekon (selfhealing)
sehingga dapat menghambat korosi
(Massaro, 2002).
Titanium telah dipilih sebagai sebuah
material untuk implantasi endosseous. Penelitian-penelitian jangka
panjang dan pengamatan-pengamatan klinis telah menemukan bahwa
titanium tidak mengalami korosi jika digunakan pada jaringan hidup,
akan tetapi, penggabungan titanium dengan material restoratif logam
lainnya secara galvanik bisa menghasilkan korosi. Dengan demikian
perlu hati-hati dalam memilih material untuk menutupi implant
tersebut. Alloy emas pada umumnya dipilih sebagai struktur-teratas
karena biokompatibiltasnya yang sangat baik, kekebalan terhadap
korosi dan sifat-sifat mekanis. Biaya alloy yang mahal telah
mendorong pembuatan material-material logam yang efektif biaya
(Leinfelder and Lemons,
1998).
Alloy yang baru ini
seperti alloy Ag-Pd, Co-Cr dan alloy Ti memiliki sifat-sifat mekanis
yang baik dan efektif biaya, meski biokompatibiltas dan kekebalan
korosi masih menjadi bahan pertimbangan. Korosi galvanik terjadi
apabila alloy yang tidak mirip ditempatkan langsung bersentuhan
dengan rongga mulut atau dalam jaringan. Kompleksitas proses
elektrokimia yang terlibat pada pertemuan implant dan
struktur-teratas terkait dengan fenomena penggabungan galvanic dan
melahirkan korosi. (Reclaru and Meyer, 1994).
Meskipun titanium memiliki sifat
biokompatibilitas sehingga memenuhi syarat untuk digunakan di dalam
tubuh atau implantasi, namun lapisan ini terbukti kurang bersifat
bioaktif untuk menginduksi pengendapan calcium phosphate (CaP) pada
saat implantasi di dalam tubuh, sehingga dapat mengurangi
oesteointegrasi tulang dengan bahan implan. (Nakagawa et al, 2005).
Meskipun alloy-titanium tahan terhadap
korosi karena stabilitas dari lapisan oksida TiO2,
yang tidak lembam terhadap serangan korosif. Pada saat lapisan oksida
stabil di permukaan terpatahkan atau hilang atau tidak mampu untuk
terbentuk kembali pada permukaannya, maka titanium dapat lebih
korosif daripada beberapa baha dasar lainnya. Interaksi
bertahun-tahun antara implan dalam rongga mulut dapat menghasilkan
pelepasan sejumlah kecil produk korosi meskipun dapat ditutupi oleh
termodinamikal film klorida stabil.
Korosi, sebuah penguraian material
secara perlahan-lahan oleh serangan elektrokimia, merupakan hal yang
harus diperhatikan khususnya apabila implant logam dipasang dalam
lingkungan elektrolit yang tidak cocok yang disediakan oleh tubuh
manusia. Istilah korosi didefinisikan sebagai proses interaksi antara
sebuah material padat dan lingkungan kimianya, yang menyebabkan
lepasnya zat dari material, menyebabkan perubahan karakteristik
strukturalnya, atau hilangnya intergritas structural
(Litsky and Spector,
1994).
Korosi elektrokimia disebut juga
sebagai korosi basah karena memerlukan adanya air atau elektrolit
cairan lainnya, juga memerlukan jalur untuk perpindahan elektron,
suatu arus listrik agar proses ini berlanjut. Rongga mulut termasuk
area yang basah karena selalu terbasahi
oleh produksi saliva
(Anusavice, 2003).
Disintegrasi logam dapat terjadi
akibat kelembapan, atmosfir, larutan asam atau basa, dan bahan kimia
tertentu. Telah dilaporkan bahwa air, oksigen, klorida, dan sulfur
dapat mengkorosi berbagai logam yang terdapat dalam alloy gigi.
Istilah
korosi didefinisikan sebagai proses interaksi antara sebuah material
padat dan lingkungan kimianya, yang menyebabkan lepasnya zat dari
material, menyebabkan perubahan karakteristikstrukturalnya, atau
hilangnya integritas struktural. Kekebalan tehadap korosi sangat
penting untuk sebuah material gigi karena korosi dapat menyebabkan
mengasarnya permukaan, melemahnya restorasi, dan pelepasan
unsur-unsur dari logam atau alloy. Pelepasan unsur dapat menyebabkan
perubahan warna pada jaringan lunak disekitarnya dan reaksi alergi
pada pasien-pasien yang rentan
( Adya, 2005).
Bentuk korosi yang paling umum, yang
biasanya terjadi pada implant gigi adalah korosi galvanik. korosi
galvanik adalah dekomposisi logam akibat perbedaan potensial
elektrokimia yang cukup besar, biasanya sebagai akibat dari
ketidakmiripan logam yang berdekatan (Biaco et al, 1937).
Korosi galvanik adalah tipe korosi
yang paling umum, yang biasanya terjadi pada implant gigi. Titanium
dipilih sebagai bahan untuk implant gigi endosseous (implant yang
ditanam dalam tulang rahang). Penelitian-penelitian jangka panjang
dan pengamatan-pengamatan klinis telah menemukan bahwa titanium tidak
mengalami korosi jika digunakan pada jaringan hidup, akan tetapi,
penggabungan titanium dengan material restoratif logam lainnya secara
galvanik dapat menghasilkan korosi
(Adya, 2005).
Korosi galvanik sebagai korosi logam
yang cepat akibat kontak elektrik dengan sebuah konduktor non-logam
pada sebuah lingkungan korosif. Apabila dua atau lebih alat prostetik
gigi yang terbuat dari alloy yang tidak mirip bersentuhan sambil
terpapar terhadap cairan mulut, maka perbedaan antara
potensial-potensial
korosi akan menyebabkan aliran arus listrik diantara keduanya. Arus
galvanic melewati jaringan, sehingga menimbulkan rasa nyeri. Arus
listrik mengalir melalui dua elektrolit, saliva atau cairan lain
dalam mulut dan cairan tulang dan jaringan
(Horasawaa et al, 1999).
Tidak ada arus atau perubahan pH yang
ditemukan apabila emas, kromium, kobal, stainless steel, komposit
karbon atau alloy perak palladium bersentuhan dengan titanium.
(Ravnholt, 1988).
Perubahan terjadi
apabila amalgam bersentuhan dengan titanium. Korosi galvanik pada
implant/sistem superstruktur menjadi penting dari dua aspek: pertama
kemungkinan efek biologis yang bisa dihasilkan dari lepasnya
komponen-komponen alloy dan kedua aliran arus yang terjadi akibat
korosi galvanik bisa menyebabkan kerusakan tulang
(Geis et all, 1994).
Korosi Ti pada lingkungan yang
mengandung fluoride profilaksis bisa menjadi masalah. Adanya sebuah
hubungan antara konsentrasi fluoride dan nilai pH dimana korosi Ti
terjadi. (Nakagawa et al, 1999). Aspek-aspek relevan dari bidang
inflamasi terkait dan proses perbaikannya menunjukkan bahwa
patomekanisme dari penyembuhan luka yang terganggu dimodulasi oleh
ion-ion logam spesifik yang dilepaskan oleh aktifitas korosi
(Kirkpatrick et al,
2002).
DAFTAR
PUSTAKA
Adya
N. Alam M. Ravindranath T. Mubeen A. Saluja B. Corrosion
in titanium dental implants:literature view.
J Indian Prosthodontic Society. 2005. 5(3)
Anusavice
KJ., 2003, Buku
Ajar Ilmu Bahan Kedokteran Gigi, edisi 10,
Jakarta, EGC, halaman: 292.
Biaco
PD, Dacheyne P, cuckler JM. Biomaterials. 1937; 1996: 17.
Campbell,, F.C.
(2006). Manufacturing
Technology for Aerospace Structural Materials (edisi
ke-1st). Elsevier.
Capuccilli M,
Conte M, Praise ST. 2001. Placement
and post mortem retrieval of 28-year-old implant.J
Am Dent Assoc
Geis GJ, Weber JG, Sauer KH. In vitro
substance loss due to galvanic corrosion in titanium implant/ Ni-Cr
supraconstruction systems. Intl J Oral Maxillofac Imp 1994;9: 449-54
Harisson J,.
2002. Evidence-based
orthodontics.
J Orthodontics.
Horasawaa N, Takahashia S, Marekb M.
Galvanic interaction between titanium and gallium alloy or dental
amalgam. Dent Materials 1999; 15: 318-22
Indriyanti,
R., Efek Kororsi Dental Alloy terhadap Parameter Imunologis; Tinjauan
Inflamasi Gusi setelah Pemasangan SSC, Tesis, Bandung : Bagian Ilmu
Kedokteran Gigi Anak FKG Unpad, 2009, Hal. 4-5
Kirkpactric CJ, Barta S, Gerdes T,
Krump-Konvalinhova V, Peters K. Pathomechanisms of impaired wound
healing by metalic corrosion products. Mund Kiefer Gesichtschir
2002;6: 183-90
Leinfelder KF. Lemons JE. Clinical
restorative materials and technique. Ler and Febiger:Philadelphia;
1998. p. 139-59
Lin CM, Yen SK. Characterization and
bond strength of electrolytic HA.TiO2 double layers for orthopedic
application. J Material in Med 2004; 15: 1237-46
Litsky AS, Spector M. ‘Biomaterials’
In Simon SR (Ed) Orthopedic basic science. Am Acad Orthop Surg. 1994;
470-3.
Massaro C,
Rotolo P, Riccardis FD, Milella E, Comparative
Investigation of the Surface Properties of Commercial Titanium Dental
Implants, Part I: Chemical Composition.
J Material in Med 2002;13
: 535-48
Mimura
H., Miyagawa
Y. (1996). Electrochemical
Corrosion Behavior of Titanium Castings: Part 1. Effects of Degree of
Surface Polishing and Kind of Solution . Jpn
J Dent Mater Dev.
Nakagawa M, Matsuya S, Shiraishi T,
OhtaM. Effect of fluoride concentration and pH on corrosion behaviour
of titanium for dental use. J Dent Res 1999; 78: 1568-72
Nakagawa M, Zhang L, Udoh K, Matsuya
S, Ishikawa K. Effects of hydrothermal treatment with CaCl2, solution
on surface property and cell response of titanium implants. J
Material in Med 2005; 16: 985-91
Nasution, D.,
Alergi dan Iritasi Kulit pada Keadaan Sehari-hari, Cermin
Dunia Kedokteran,
1992, 80 : 126
Powers
JM, Sakaguchi RL., 2006, Craig’s
Restorative Dental Material,
12th ed, St Louis : Mosby Co
Reclaru L, Meyer JM. Study of
corossion between a titanium implant and dental alloys. J Dent 1994;
22: 159-68
Schmalz
G. Arenholt-Bindslev D.2009. Biocompatibility
of dental materials.
Springer : Jerman. 196
Sulistijono.
2011. Bentuk
Korosi.
http://www.its.ac.id/personal/files/material/1539-ssulistijono-mat-eng-3.Bentuk%20korosi%20ppt.pdf
diakses pada 8 April 2011
Trethewey
Kenneth R.
1991
.Corrosion
and anti corrosives. http://203.189.120.206/jiunkpe_lb_16356.html
diakses pada 8 April 2011
Korosi pada Titanium Implan