Trauma Endodontics - Luka
dental akibat trauma merupakan salah satu bentuk kedaruratan yang
membutuhkan kecepatan seorang klinisi dalam menanganinya. Prognosis
dari setiap kasus bergantung pada bagaimana kondisi tersebut segera
ditangani dan keakuratan penanganan kondisi tersebut (Berman, et
al., 2007).
Pasien
yang mengalami trauma harus sesegera mungkin diperiksa. Pemeriksaan
mencakup beberapa hal di bawah ini:
Chief
Complain
Pasien
harus memberikan keterangan tentang sakit yang dirasakan dan
gejala-gejala yang muncul setelah trauma. Informasi tentang durasi
setiap gejala juga penting untuk ditanyakan.
History
of Present Illness
Klinisi
juga perlu mengetahui apakah trauma pernah terjadi pada area yang
sama sebelumnya. Hal ini dapat dilakukan dengan memberikan pertanyaan
seperti :
Kapan
dan dimana terjadi trauma?
Bagaimana
trauma tersebut terjadi?
Sebelum
dating ke klinik ini apakah sudah pernah dilakukan penanganan?
Apakah
pernah mengalami luka trauma sebelumnya?
Apakah
ada gejala lain yang muncul?
Riwayat
Kesehatan Umum
Hal ini perlu
ditanyakan karena pasien trauma biasanya mendapatkan perawatan obat
antibiotic dan analgesic.
Kelainan
tertentu seperti kelainan perdarahan, diabetes dan epilepsy
Pengobatan
yang sedang dilakukan
Hal ini penting
untuk ditanyakan untuk mempertimbangkan interaksi obat untuk trauma
dengan obat-obatan yang sedang dikonsumsi.
Pemeriksaan
Klinis
Jaringan
Lunak
Pemeriksaan
dilakukan pada beberapa area seperti bibir, pipi, dan lidah dengan
cara palpasi.
Tulang
Wajah
Maksila, mandibula,
dan sendi temporomandibula perlu dipalpasi dan diperiksa apakah
terdapat distorsi, perubahan posisi atau indikasi fraktur. Untuk
indikasi fraktur perlu dilakukan rontgen foto.
Gigi
Gigi harus
diperiksa dalam hal fraktur, mobilitas, perpindahan tempat, kerusakan
ligament periodontal dan tulang, serta trauma pada pulpa.
Pemeriksaan
Radiografi
Radiografi
sangat penting dalam pemeriksaan trauma dental untuk mendeteksi
dislokasi, fraktur akar, dan fraktur rahang. Melalui radiografi
ekstraoral dapat diketahui adanya fraktur condilus dan rahang,
sedangkan pada radiografi intraoral dapat diketahui ukuran kamar
pulpa, saluran akar, perkembangan apeks akar, dan ruang ligament
periodontal (Andreasen
et
al., 2003).
Berikut ini adalah
luka akibat trauma pada gigi:
FRAKTUR
MAHKOTA
Fraktur adalah
hilangnya atau lepasnya fragmen dari suatu gigi utuh yang biasanya
disebabkan oleh trauma atau benturan-benturan. Jadi fraktur akar dan
mahkota dengan melibatkan pulpa adalah hilangnya atau lepasnya
fragmen dari mahkota dan menjalar ke akar gigi yang melibatkan pulpa.
Penyebab
yang sering menyebabkan terjadinya fraktur adalah terjatuh,
kecelakaan, kontak dalam olahraga, benda asing yang menghantam gigi.
Klasifikasi fraktur
mahkota dapat dilihat dari aspek anatomis, terapeutik dan
prognosisnya
menurut WHO:
Enamel
infraction
Enamel infraction
merupakan fraktur tidak sempurna berupa retakan pada email tanpa
adanya substansi gigi dan penampakan mikroskop, tampak seperti garis
gelap yang parallel terhadap prisma email dan berhenti pada
dentinoenamel
junction.
Secara umum, enamel
infraction
tidak memerlukan perawatan, tetapi bila terdapat lebih dari satu
garis retakan harus diberi seal
unfilled resin
dengan teknik etsa asam untuk menghindari timbulnya stain dari
makanan/ minuman (Andreasen et
al., 2003).
Uncomplicated
crown fracture
Uncomplicated
crown fracture
adalah
fraktur yang mengenai
mahkota dan dentin tetapi pulpanya tidak terbuka (Walton dan
Torabinejad, 2001).
Dentin terbuka biasanya sensitif terhadap perubahan suhu dan bila
dentin yang tersisa tinggal sedikit maka akan tampak bayangan pulpa
yang berwarna merah muda. Terbukanya tubulus dentinalis dapat
menyebabkan jalan masuk bagi bakteri maupun iritan termal dan kimiawi
sehingga dapat mengakibatkan inflamasi pulpa. Perawatan untuk fraktur
email antara lain menghaluskan bagian-bagian yang tajam dan
mengembalikan estetika gigi seperti ekstrusi gigi incisivus untuk
menambah tinggi incisal, reattachment fragmen gigi secepatnya dengan
resin komposit, maupun dengan restorasi mahkota dari semen ionomer
kaca maupun resin komposit. Pada fraktur dengan dentin terbuka dapat
dilakukan pulp capping (Andreasen
et
al., 2003).
Lebih
lanjut Ingle dan Bakland (2002) menjelaskan fraktur ini dapat
meliputi sudut incisal-proksimal, incisal edge, fraktur lingual
“chisel”-type digigi anterior, kadang-kadang dapat terjadi pada
cusp gigi posterior. Namun demikian kejadian pada gigi anterior lebih
sering terjadi daripada gigi-gigi yang lain. Grossman, dkk (2005)
menambahkan bahwa secara umum injuri traumatik pada mahkota dapat
terjadi pada semua kelompok umur dengan penyebab yang beragam,
diantaranya kecelakaan olahraga, perkelahian, serta kecelakaan
kendaraan.
Cedera
seperti ini biasanya tidak menimbulkan nyeri parah dan umumnya tidak
memerlukan perawatan segera (Walton dan Torabinejad, 2001). Namun
apabila tubuli dentinalis terbuka akibat fraktur yang terjadi dapat
menyebabkan kontaminasi dan inflamasi pada pulpa. Hal tersebut dapat
menimbulkan sensasi iritasi pada dentin bahkan nekrosis pulpa.
Keparahan dari fraktur ini bergantung pada dekatnya fraktur dari
pulpa, luas dentin yang terbuka, usia, injuri pada suplai darah di
pulpa, serta jarak antara waktu trauma dan perawatan. Sehingga pada
kasus demikian penanganan segera sangat diperlukan (Ingle dan
Bakland, 2002). Pada dasarnya prognosis fraktur ini baik kecuali jika
disertai cedera luksasi pada ligamen periodontium atau pembuluh darah
daerah apeks yang memasok darah ke pulpa, yang pada kasus tersebut
membuat giginya terasa sensitif terhadap perkusi (Walton dan
Torabinejad, 2001). Fraktur ini disebut juga sebagai uncomplicated
crown fracture/ fraktur kelas 2 Ellis (Ingle dan Bakland, 2002).
Diagnosis
dapat dilakukan dengan penggunaan kaca mulut dan eksplorer. Sebagai
tambahan, penting kiranya untuk menentukan status dari pulpa dan
jaringan periradikular (Ingle dan Bakland, 2002).
Tujuan
utama dari perawatan adalah untuk melindungi pulpa dengan menutup
tubuli dentinalis (Ingle dan Bakland, 2002). Grossman, dkk (1995)
berpendapat bahwa tujuan merawat gigi dengan mahkota yang mengalami
fraktur tanpa terbukanya pulpa meliputi:
Dentin
yang terbuka sebaiknya dilindungi dengan semen seng okside eugenol
yang ditahan dengan pembentuk mahkota sesegera mungkin setelah
terjadi fraktur. Tes vitalitas gigi dapat dilakukan dengan semprotan
chlor etil disekeliling mahkota. Dalam sebulan jika respon tetap
dalam keadaan normal dapat dibuat restorasi pada gigi (Grossman, dkk,
1995).
Menurut
Ingle dan Bakland (2002), metode yang paling efektif untuk merawat
fraktur mahkota adalah dengan aplikasi langsung dari dentin bonding
agents dan bonded restoration. Jika fragmen patahan dari mahkota
masih ada akan sangat menguntungkan jika fragmen tersebut dipasang
kembali pada gigi.
Mula-mula
lakukan anestesi gigi kemudian pasanglah rubber dam untuk mengisolasi
gigi. Bersihkan permukaan fraktur pada gigi dan fragmen gigi yang
bersangkutan dengan pumice dan air. Tentukan cara penyematan fragmen
menggunakan sticky wax untuk memegang fragmen koronal. Lakukan dengan
hati-hati untuk mendapat keakuratan dan kecocokan. Aplikasikan bahan
pengetsa yang sesuai berdasarkan petunjuk penggunaan pabrik pada
permukaan gigi dan fragmen koronal gigi dan diperpanjang 2 mm
melebihi tepi cavosurface. Kemudian lakukan pembilasan. Aplikasikan
dentinal primer diikuti aplikasi unfilled resin. Selanjutnya
campurkan light-cure composite resin dengan unfilled resin untuk
mendapat konsistensi creamy dan aplikasikan pada gigi dan fragmen
koronal gigi. Dengan hati-hati pasang kembali fragment koronal gigi
pada lokasi frakturnya gigi, pastikan lokasi pemasangan tepat.
Bersihkan ekses resin dan aplikasikan light curing. Polish resin dan
cek oklusinya (Ingle dan Bakland, 2002).
Seperti
traumatik injuri lainnya, fraktur akar juga memerlukan evaluasi
periodik untuk menentukan keadaan pulpa (Ingle dan Bakland, 2002).
Pulpa sebaiknya diuji dengan tester pulpa listrik atau dengan
semprotan chlor etil. Bila pulpa masih dalam keadaan vital dan
kondisi mahkota masih baik, sebaiknya gigi diperiksa kembali dalam
seminggu, sebulan, 3 bulan, dan 6 bulan.
Radiograf harus dibuat dalam
interval 6 bulan. Bila pulpa tetap bereaksi normal dalam rentang
waktu ini, pulpa dapat dianggap sudah sembuh. Bila secara progresif
diperlukan lebih banyak arus untuk mendapatkan respon vitalitas,
prognosis pulpa tidak baik, dan pulpa mungkin akan menjadi nekrotik
yang mengharuskan perawatan pulpa (Grossman, dkk, 1995).
Complicated
crown fracture
Adalah
fraktur email dentin yang melibatkan pulpa. Biasanya ditandai dengan
adanya perdarahan pada bagian pulpa yang terlibat serta adanya
sensitivitas terhadap perubahan suhu yang menutup tubulus dentinalis
misalnya bahan terapeutik untuk mencegah invasi bakteri yang
mengakibatkan terjadinya inflamasi pulpa. Semen zink oksia eugenol
dapat diaplikasikan untuk menstimulasi terbentuknya jaringan keras.
Secara histologist pada bagian pulpa yang terlibat akan tampak
jaringan fibrin, proliferasi leukosit, histosit dan lama kelamaan
akan timbul jaringan granulasi. Perawatan fraktur jenis ini adalah
dengan pulp capping, partial pulpotomi atau pulpal extirpation
(Andreasen
et
al., 2003).
Complicated crown
fracture meliputi :
FRAKTUR
MAHKOTA DENGAN PULPA TERBUKA (VITAL)
Trauma
pada gigi dapat menyebabkan injuri pada pulpa, dengan atau tanpa
kerusakan mahkota atau akar, atau pemindahan gigi dari soketnya. Bila
mahkota atau akar patah, pulpa dapat sembuh dan vital, dapat segera
mati, atau dapat mengalami degenerasi progresif dan akhirnya mati
(Grossman, dkk, 1995).
Tipe fraktur ini
melibatkan email, dentin, dan pulpa. Fraktur ini disebut pula fraktur
mahkota complicated/ fraktur kelas III Ellis. Derajat terbukanya
pulpa bervariasi mulai dari titik kecil hingga membuka seluruh pulpa.
Terbukanya pulpa pada fraktur ini menyebabkan perawatan menjadi lebih
sulit. Kontaminasi bakteri pada pulpa menghalangi penyembuhan kecuali
jika kondisi pulpa yang terbuka dapat ditutup untuk menghalangi
kontaminasi lebih lanjut (Ingle dan Bakland, 2002).
Hendaknya luas
fraktur, tahap perkembangan akar, dan lama waktu sejak terjadinya
cedera dicatat dengan baik. Luasnya fraktur akan membantu menentukan
perawatan pulpa sertakebutuhan restorasinya. Fraktur yang kecil
mungkin bisa dirawat saluran akarnya secara vital dan direstorasi
menggunkaan resin komposit dengan etsa. Fraktur yang luas mungkin
memrlukan perawatan saluran akar dengan restorasi mahkota yang
didukung dengan pasak dan inti bergantung pada usia pasien (Walton
dan Torabinejad, 2001).
Reaksi
awal dari kondisi fraktur mahkota dengan pulpa terbuka adalah adanya
hemoragi pada area dimana pulpa terluka. Berikutnya, terjadi respon
inflamatori siperfisial yang diikuti oleh proses destruktif
(nekrotik) atau proses proliferasi (pulp polyp) reaction (Ingle dan
Bakland, 2002).
Diagnosis
dari fraktur mahkota dengan pulpa terbuka dapat dilakukan dengan
observasi klinis. Sebagai tambahan, penting kiranya untuk menentukan
kondisi pulpa. Jika gigi mengalami luksasi ditambah terdapat fraktur
koronal, kesembuhan pulpa akan terganggu, semakin lama pulpa terbuka
tanpa dilindungi maka prognosis vitalitas pulpa memburuk (Ingle dan
Bakland, 2002).
Bagi
gigi yang mengalami fraktur mahkota dengan terbukanya pulpa dalam
kondisi vital dapat ditangani menggunakan pulpotomi. Pulpotomi
merupakan perawatn pilihan dibandingkan kaping pulpa (Grossman, dkk,
1995). Lebih lanjut Ingle dan Bakland (2002) menjelaskan pada
beberapa tahun terakhir terdapat modifikasi teknik dari pulpotomi
yang disebut sebagai “shallow pulpotomy” dimana terdapat
perbedaan jauh dengan prosedur lama yang membuang kamar pulpa jauh
kedalam hingga servikal. Teknik ini seringkali pula disebut dengan
“partial atau Cvek-type pulpotomy”.
Pada
awalnya gigi dianestesi dan diisolasi menggunakan rubber dam,
jaringan granulasi dibersihkan dari daerah yang terpapar menggunakan
ekskavator. Dapat pula dilakukan evaluasi ukuran pulpa yang terpapar.
Selanjutnya, hilangkan jaringan pulpa sedikit demi sedikit
menggunakan round diamond stone hingga kedalaman 1-2 mm. Berikan
banyak semprotan air untuk irigasi dan mencegah kerusakan akibat
panas pada pulpa yang tersisa (Ingle dan Bakland, 2002).
Setelah
jaringan pulpa selesai disiapkan, bilas luka dengan saline dan
hentikan perdarahan menggunakan cotton pellet yang dibasahi saline,
bilas dengan saline kemudian ditutup memakai material kalsium
hidroksida. Aplikasikan kalsium hidroksida diatas luka dan menutupi
seluruh dentin terbuka yang berbatasan dengan luka. Kemudian
aplikasikan intermediate base hard-setting semen zink fosfat atau
semen ionomer kaca. Selanjutnya dilakukan restorasi menggunakan
adhesive dentin dan resin komposit (Ingle dan Bakland, 2002).
Setelah
foto radiografi menunjukkan mineralisasi pada area pulpa yang
terbuka, dilakukan penghilangan initial filling dan liner untuk
mencegah microleakage, hal ini terjadi dalam kurun waktu 6-12 bulan
paska perawatan awal (Ingle dan Bakland, 2002).
Selain
kalsium hidroksida dapat pula digunakan MTA (Mineral Trioxide
Agregate) cara penggunaannya sama seperti kalsium hidroksida dengan
modifikasi berupa:
Gigi
harus dianestesi dan diisolasi memakai rubber dam
Gigi,
permukaan fraktur, dan area luka didesinfektan menggunakan sodium
hipoklorit
Round
diamond stone digunakan untuk membersihkan jaringan pulpa yang
terbuka hingga kedalaman 2mm. Perdarahan dihentikan sebelum aplikasi
MTA namun adanya sedikit darah diarea luka bukan merupakan
kontraindikasi pemasangan MTA
Aplikasi
MTA dapat memakai ekskavator kemudian dikondensasi menggunakan
cotton pellet yang basah sehingga dapat menutupi keseluruhan pulpa
yang terbuka. Seluruh sisa cairan yang masih tersisa dibersihkan
dari permukaan MTA menggunakan cotton pellet kering.
Rubber
dam dapat dilepas, MTA yang berkontak langsung dengan saliva akan
memberikan efek penyembuhan. Setelah 6 jam, gigi dapat direstorasi
menggunakan restorasi yang ditentukan.
(Ingle dan Bakland,
2002)
FRAKTUR
MAHKOTA DENGAN PULPA TERBUKA (NON VITAL)
Fraktur
mahkota dengan pulpa terbuka dan non vital dapat diklasifikasikan
sebagai complicated
crown fracture.
Hilangnya
struktur mahkota gigi disertai pulpa gigi yang terbuka. Terdapat
sedikit perdarahan karena pulpa yang terbuka. Proliferasi jaringan
lunak (pulp polyp) dapat terjadi ketika terlambat member perawatan
pada gigi muda. Gigi akan sensitif dengan perubahan suhu, dehidrasi
dan tekanan karena tubulus dentinalis terbuka. Tes pulpa selalu
positif kecuali terjadi bersamaan dengan trauma luksasi. Pemeriksaan
radiografi sangat penting untuk evaluasi klinis dan perawatan yang
akan dilakukan (Berman dkk., 2007). Tes
perkusi akan negatif, bila positif harus dicek ulang apakah gigi itu
mengalami luksasi atau fraktur akar. Mobilitasnya normal.
Berdasarkan
klasifikasi Ellis, complicated crown fracture diklasifikasikan
sebagai fraktur kelas III. Fraktur Ellis kelas III merupakan fraktur
mahkota yang melibatkan email, dentin, dan pulpa. Pasien mengeluhkan
nyeri karena tersentuh, terkena udara dan perubahan suhu (Wamsley
dkk., 2007).
Pada complicated
crown fracture terdapat lima pilihan perawatan, antara lain: kaping
pulpa, partial pulpotomy, full pulpotomy, pulpektomi dan ekstraksi.
Pilihan yang biasanya dilakukan adalah dengan pulp preservation dan
ekstirpasi pulpa. Apabila fraktur meluas sampai permukaan akar,
sebaiknya diberikan seal untuk mengeliminasi terjadinya kebocoran
margin. Ada beberapa pertimbangan untuk penumpatan saat pulpa dirawat
secara endodontik. Bila pembentukan akar belum sempurna, maka
pulpotomi merupakan pilihan paling tepat untuk memacu pertumbuhan
lebih lanjut dari akar dan memperkuat gigi. Apabila akar telah
terbentuk sempurna, maka pulpektomi merupakan pilihan yang paling
tepat. (Patel dkk., 2011)
Perawatan akan
berbeda pada pulpa non vital. Pada gigi yang masih immature,
dilakukan apeksifikasi. Indikasinya adalah untuk gigi dengan apeks
terbuka dan dinding dentin yang tipis dimana instrumentasi standar
tidak bisa menciptakan apical
stop untuk
mendukung root canal filling. (Ingle dkk., 2008)Harus dilakukan usaha
untuk mendorong perkembangan jaringan keras dengan memasukkan pasta
kalsium hidroksida (dibuat dengan suatu sarana seperti misalnya
larutan anestetik atau klorofom berkamfer) di seluruh saluran, untuk
memudahkan obturasi saluran akar setelah pembentukan “barier
kalsifik” apical. Topi/ tudung osteodentin atau osteosementum yang
terbentuk pada apeks akar digunakan sebagai stoip bagi tumpatan
guta-perca dan menjamin enutupan yang memadai. Prosedur ini dapat
dilakukan bahkan bila suatu daerah rarefaksi telah berkembang sedikit
demi sedikit. (Rao, 2008)
Pada gigi yang sudah
matur namun pulpanya telah non vital, dilakukan PSA atau root canal
treatment yang dilanjutkan dengan restorasi permanen.
FRAKTUR
AKAR
DAN
MAHKOTA
DENGAN
MELIBATKAN
PULPA
Diagnosis
dibuat dengan
pemeriksaan klinis
dari struktur
gigi yang
hilang dari mahkota dan
adanya eksposur pulpa.
Biasanya
terdapat sedikit perdarahan pada bagian pulpa yang terluka. Perawatan
yang tertunda dapat menimbulkan terjadinya pulp polyp.
Tergantung ada
tidaknya kontaminan pada cedera, pulp akan
berwarna merah
terang,
penampilan sianosis
atau iskemik. Gigi
umumnya sensitif
terhadap
variasi
suhu,
dehidrasi,
dan
tekanan
yang
disebabkan
oleh
bagian
dari
tubulus
dentin
dan
pulpa
yang
terkena.
Respon
untuk
pengujian
pulpa
biasanya positif.
Pemeriksaan
radiografi menambahkan informasi penting untuk evaluasi klinis
(seperti tahap perkembangan akar atau ukuran pulpa) dan membantu
dalam menentukan jenis pengobatan yang akan dilakukan.
Apalagi, radiograf berfungsi sebagai catatan untuk
mengevaluasi keberhasilan pengobatan, terutama untuk mengevaluasi
kematangan akar dan adanya barrier tissue yang menutupi daerah yang
terkena.
Pulp capping
dilakukan jika daerah yang terkena fraktur kecil dan pada 24 jam
pertama setelah trauma atau cedera. Restorasi di atas pulp cap harus
dilakukan untuk mencegah invasi bakteri.
Pulpotomy
dilakukan pada trauma yang telah lama, atau pada daerah fraktur yang
luas atau besar.
FRAKTUR
AKAR INTRAALVEOLAR
Fraktur
horizontal yang memanjang melibatkan enamel, dentin, sementum, dan
pulpa.
Fraktur
akar
akan
menghasilkan
bagian
baru
dari
akar,
yang
disebut
fragmen.
Fragmen
ini
ditetapkan
sebagai
fragmen
koronal
dan
fragmen
apikal,
dengan
ruang
antara
fragmen disebut
sebagai diastasis.
Garis patahan pada fraktur akar bisa terletak sangat jauh di dalam
tulang alveolar (deep root fracture) maupun dekat dengan puncak
tulang alveolar (shallow root fracture) (Tsukiboshi, 2000).
Fraktur
akar biasanya disebabkan oleh horizontal impact atau benturan dengan
arah horizontal. Benturan yang keras akan menghasilkan gaya yang
mendorong fragmen koronal ke arah palatal dan pada posisi sedikit
ekstrusi. Pada kondisi seperti ini pulpa kemungkinanbesar teregang,
tapi kondisinya bisa parah maupun tidak tergantung dari sifat
elastisitasnya (Andreasen, 2008).
Fraktur
akar dapat disertai nekrosis pulpa maupun tidak disertai nekrosis
pulpa. Pada fraktur akar yang disertai nekrosis pulpa, ada dua tipe
dari nekrosis pulpa: 1)yang disebabkan karena keparahan pulpa
diantara bagian akar yang patah (nekrosis pulpa hanya terjadi pada
bagian koronal) dan 2) yang disebabkan karena kerusakan vascular di
daerah apical (nekrosis pada seluruh pulpa) (Tsukiboshi, 2000).
Tanda-tanda
radiografis dari fraktur akar antara lain:
Terdapat
garis radiolusen antara segmen yang terpisah pada akar setelah
trauma terjadi
Bila
nantinya pasca perawatan yang berhasil, segmen koronal kembali
vital, akan terlihat bukti kalsifikasi secara radiografis
Jika
terjadi kontaminasi bakteri pada segmen koronal, akan terlihat
periradikuler radiolusen pada tulang di daerah fraktur.
(Patel
dkk., 2007)
Gigi dengan
intraalveolar root fracture akan sedikit terlihat mengalami
dislokasi. Garis fraktur cenderung lebih koronal pada aspek labial,
memperluas lebih apical terhadap aspek lingual, dengan fragmen
koronal gigi biasanya berpindah lebih ke lingual. Apabila dilakukan
tes percussion sensitivity maka gigi akan mengalami sedikit
mobilitas. Terkadang timbul perdarahan pada sulkus gingiva. Mahkota
klinis terkadang mengalami diskolorisasi.
Pada gigi yang
mengalami fraktur akar sebaiknya dilakukan perawatan inisial.
Pemeriksaan awal (initial assessment) harus dibuat untuk mengetahui
apakah garis fraktur berhubungan dengan rongga mulut atau dapat
secara potensial mengganggu rongga mulut karena gerakan gigi maupun
bila terdapat resesi gingival. Apabila hal tersebut terjadi maka
sebaiknya fragmen koronal dikeluarkan dan sisa akar dipertimbangkan,
apabila gigi akan dipertahankan maka sebaiknya dilakukan perawatan
endodontik.
Apabila fraktur
koronal mengalami pergeseran (displaced) harus dilakukan reposisi dan
splinting. Reposisi fraktur akar secara akurat pada awal penanganan
dapat mengurangi kemungkinan nekrosis pulpa. Mobilitas berlebihan
memerlukan splint yang non rigid, atraumatik dan dilepaskan setelah 4
minggu kecuali fraktur molar ketiga yang membutuhkan splinting hingga
4 bulan.
Semua kasus fraktur
akar horizontal yang tidak berhubungan dengan rongga mulut sebaiknya
dirawat seakan-akan pulpa tidak mengalami kerusakan irreversible.
Perawatan endodontik sebaiknya tidak dilakukan pada waktu awal,
bahkan apabila tidak ada respon positif res sensitivitas pulpa
sebagaimana biasa ditemui pada gigi yang mengalami fraktur akar.
Pada deep root
fracture sebaiknya fragmen patahan direposisi dan dilakukan splinting
dengan bantuan gigi sebelahnya. Lama splinting direkomendasikan
kurang lebih hingga 3 bulan. Untuk membantu penyembuhan pulpa dan
ligamen periodontal, segmen koronal dan apikal di reposisi sedekat
mungkin menggunakan splint rigid pada permukaan bukal. Posisi splint
sebaiknya diverifikasi secara radiograf. Perawatan dengan splint
bukal ini sebaiknya berlangsung selama dua sampai empat bulan. Namun
apabila waktu injuri terlalu lama, akan lebih sulit mereposisi segmen
koronal dengan segmen apikal.
Selama 3 bulan
apabila terlihat adanya tanda-tanda nekrosis pulpa maka prosedur
perawatan endodontik harus segera dilakukan. (Tsukiboshi, 2000).
Apabila nekrosis pulpa berkembang, dilakukan perawatan temporary
filling root canal dengan calcium hydroxide selama 4-6 bulan diikuti
root filling dengan gutta percha atau MTA pada level fraktur
tersebut.
Pada shallow root
fracture, jika sisa akar dianggap cukup kuat untuk mendukung
prostetic crown, maka akar harus diekstrusikan baik secara bedah
maupun secara ortodontik. Akar yang pendek merupakan indikasi
dilakukan ekstraksi. Jika ekstraksi dipilih, maka pengembalian
estetis dan fungsional dapat dilakukan dengan autotransplantasi,
implant, gigi tiruan cekat ataupun penutupan celah secara ortodontik.
Secara umum, semakin dekat fraktur akar ke arah servikal semakin lama
waktu perawatan yang dibutuhkan. Pada kasus dengan fragmen apikal
yang mengalami nekrosis dengan ditandai adanya radiolusen periapikal,
perawatan dilakukan dengan root filling pada fracture site dan
mengambil fragmen apikal, atau root filling dengan melibatkan fragmen
apikal.
LUKSASI
Gigi luksasi
meempunyai satu gejala yang sering ditunjukkan dengan rasa sensitive
untuk menggigit dan mengunyah. Pada konkusi, ini merupakan tanda dan
satu-satunya gejala, yang ditandai dengan perkusi positif pada gigi.
Pada injuri yang lebih berat seperti subluksasi dan luksasi lateral,
tanda dan gejala pada sensitivitas perkusi mungkin muncul.
Sensitivitas pada pada tekanan dan palpasi pada alveolus, mobilitas,
dislokasi dan kemungkinan perdarahan ligament periodontal. Meski,
radiograf tidak selalu memperlihatkan perlukaan pada struktur
pendukung dan tidak bisa diandalkan sebagai satu-satunya diagnosis.
Jika trauma lebih berat, maka mobilitas dan perpindahan gigi dapat
diamati. Diskolorisasi mahkota mungkin tercatat dan jika muncul
segera setelah injuri, ini mengindikasikan kerusakan pulpa berat.
(Ingle dan Bakland, 1994)
Tes
pulpa elektrik harus dilakukan pada kasus luksasi, meskipun faktanya
tidak ada respon awal yang sering terjadi. Hasil tes pulpa elektrik
menghasilkan dasar untuk evaluasi selanjutnya (Ingle dan Bakland,
1994).
Trauma
endodontic berupa luksasi meliputi
Konkusi
Konkusi merupakan
bentuk paling ringan dari luksasi dan dikarakteristikkan hanya dengan
sensitive bila dilakukan perkusi. Tidak ada perpindahan gigi dan
tidak ada mobilitas sebagai akibat dari injuri. Konkusi mungkin
muncul pada kebanyakan kasus fraktur mahkota, akar dan mahkota-akar.
Mengistirahatkan
gigi sebanyak mungkin untuk mendukung penyembuhan trauma ligament
periodontal dan pembuluh apical. Monitoring status pulpa dengan EPT
dan melihat secara klinis perubahan warna gigi dan radiografi untuk
kejadian resorpsi.
(Ingle
dan Bakland, 1994)
Subluksasi
Jenis jejas ini
melibatkan kerusakan sedang pada ligamentum periodontal. Gigi yang
mengalami subluksasi menunjukkan mobilitas horizontal atau vertical
ringan sampai sedang, atau keduanya. Perdarahan biasanya terjadi di
sekitar leher gigi; jadi gigi yang subluksasi, posisinya tetap normal
pada lengkungan gigi
(Behrman
dkk, 1999).
Mengistirahatkan
gigi sebanyak mungkin dengan diet makanan lunak. Jika perlu,
menstabilkan gigi selama periode pendek (2-3 minggu) untuk mendukung
penyembuhan ligament periodontal dan mengurangi mobilitas (Ingle dan
Bakland, 1994).
Beberapa
gigi subluksasi membutuhkan imobilisasi agar tercapai perbaikan
ligamentum periodontal memadai. Imobilisasi gigi dipermudah dengan
bidai akrilik. Beberapa gigi jenis ini harus dirujuk ke dokter gigi
sesegera mungkin (Behrman dkk, 1999).
Penggunaan
splint harus menggunakan jenis yang non rigid yaitu menggunakan nylon
fishing line yang menempel pada masing-masing gigi, termasuk di
dalamnya resin etsa asam pada permukaan labial atau lingual.
Subluksasi perlu dievaluasi lama untuk meyakinkan pulpa sudah sembuh
sempurna. Ini bisa memakan waktu dua tahun atau lebih. Perawatan
definitive untuk gigi subluksasi termasuk terapi kanal akar (Ingle
dan Bakland, 1994).
Luksasi
Lateral
Injuri traumatik
dapat menghasilkan perpindahan posisi gigi secara labial, lingual,
distal dn mesial. Ini disebut luksasi lateral dan sering sangat
sakit, terutama ketika perpindahan posisi gigi menghasilkan posisi
oklusi premature. (Ingle dan Bakland, 1994) Luksasi lateral dapat
didiagnosis dengan perkusi, ketika gigi menghasilkan bunyi berdengung
yang nyaring. Perlukaan ini menyebabkan kerusakan pada struktur
pendukung. Tulang dinding labial bisa saja mengalami fraktur. (Ford,
2004)
Urgent care
pada kasus ini meliputi reposisi gigi dan stabilisasi jika gigi
mobile. Reposisi gigi luksasi lateral membutuhkan aplikasi tekanan
pada ujung apical akar. Splinting, jika dibutuhkan, harus jenis non
rigid dan harus dipasang 2-6 minggu tergantung seberapa cepat
penyembuhan dari jaringan pendukung (Ingle dan Bakland, 1994).
Penyembuhan pulpa diperkirakan sebesar 70% pada gigi yang imatur.
Revaskularisasi akan memakan waktu beberapa minggu, tetapi serabut
saraf akan berfungsi kembali setelah beberapa tahun (Ford, 2004).
Ekstrusi
Luksasi ekstrusif
adalah Trauma pada gigi yang dapat menyebabkan perpindahan tempat
dari axial dalam arah koronal, sehingga menghasilkan avulse parsial.
Gigi sebagian keluar dari soket dan karena itu dapat diharapkan akan
mengalami mobilitas yang cukup parah. Kemungkinan juga akan terus
trauma kontak dengan gigi yang lawannya, karena kondisinya
premature oklusal, maka semua itu berkontribusi
terhadap ketidaknyamanan pasien dan mobilitas gigi yang
parah.
Perawatan emergensi
yang dilakukan dengan segera terdiri dari reposisi gigi, yang
biasanya lebih mudah dicapai daripada di luksasi lateral, dan
stabilisasi dengan splint nonrigid selama 4 sampai 8
minggu. Periode stabilisasi yang relatif lama ini
adalah untuk memungkinkan penataan kembali serat ligamentum
periodontal pendukung gigi. Hal ini penting selama periode ini
sehingga gingivitis dapat dicegah. Inflamasi gingival akan meniadakan
setiap upaya jaringan untuk memperbaiki dirinya sendiri. Periodontal
probing setelah cedera akan memungkinkan periodontal probe untuk jauh
lebih dapat menjangkau kedalaman jaringan periodontal daripada saat
pre-trauma. Sedangkan selama pemulihan, kemajuan dari perawatan dapat
dipantau dengan periodontal probing. Ketika reattachment telah
terjadi, kedalaman probing harus serupa dengan kedalaman pada
saat pre-trauma.
Perawatan lainnya
yang digunakan pada luksasi ekstrusif adalah meliputi terapi pada
saluran akar kecuali pada gigi yang masih immature karena pulpanya
masih terlalu rentan dalam pemulihan.
Yang dapat dilakukan
juga pada ekstrusif luksasi diantaranya perhatikan tanda-tanda
resorbsi akar pada terapi endodontic, pada ekstrusif luksasi, terapi
saluran akar harus dilakukan jika kondisi pulpa dinilai telah
mengalami pulpitis irreversible ataupun nekrosis pulpa. Untuk
melakukan terapi saluran akar dalam
kasus ekstrusif membutuhkan waktu ,sampai pemulihan
awal dari trauma telah terjadi. Itu berarti bahwa prosedur
endodontic bisa dilakukan beberapa waktu setelah 1 atau
2 minggu pertama
(Ingle and Bakland,1994).
Intrusi
Gigi yang memiliki
posisi yang bukan semestinya secara apical sampai prosesus alveolar.
Luksasi intrusi ini disebabkan oleh beberapa kecelakaan tabrakan ke
ligament periodontal. Karena gigi tidak pada tempatnya di tulang,
didapatkan kegoyahan. Uji radiografis mendemonstasikan posisi dari
gigi tersebut. Karena terjadi kecelakaan tabrakan, ligament
periodontal tidak bisa terlihat dengan jelas.
Jika pembentukan
akar tidak sempurna, biarkan gigi bererupsi kembali sekitar beberapa
bulan, dan jika pembentukan akar telah sempurna, gigi harus
dikembalikan pada posisinya secara ortodontik ataupun secara bedah
dengan forcep (setelah dibedah, harus dilakukan splinting).
Doanjurkan dengan treatment ortodontik karena menghasilkan penurunan
resorbsi dan menjaga tulang krestal. Keadaan pulpa harus termonitor,
karena pulpa yang nekrosis sering ada pada gigi dengan akar yang
tidak sempurna dan menutup 100% di gigi dengan pembentukan akar
sempurna.
AVULSI
Avulsi adalah
keadaan gigi terlepas dari soketnya. Gigi
immature
yang mengalami avulsi kemudian segera direplantasi, mempunyai
prognosis yang lebih baik, yaitu revaskularisasi pulpa dan
penyembuhan ligamen periodontal daripada gigi mature
avulsi. Gigi mature
tidak mengalami revaskularisasi.
(Ford,
2004)
Perawatan yang
disarankan untuk mengatasi gigi avulsi terdiri dari tiga tahapan:
Hasil terbaik dari
gigi yang direplantasi adalah apabila gigi direplantasi segera
setelah avulsi. Bila terjadi kegawatdaruratan, yang dapat dilakukan
untuk membantu korban antara lain:
Segera
mengambil gigi kemudian dikembalikan ke dalam soket gigi.
Bila
gigi terkena kotoran, jangan dicuci dengan sabun, namun cukup dicuci
di bawah air mengalir sampai kotoran atau benda asing yang ada
hilang.
Setelah
dicuci, gigi dikembalikan ke soket perlahan-lahan, dengan memegang
gigi di bagian mahkotanya saja kemudian segera dibawa ke klinik gigi
untuk segera dilakukan tindakan.
Bila
tidak memungkinkan mengembalikan gigi ke soket, gigi dapat di simpan
dulu dalam suatu medium sambil membawa pasien ke klinik gigi.
Saat pasien datang
ke klinik gigi, gigi yang avulsi tadi direndam dalam larutan saline,
kemudian sesegera mungkin melakukan anamnesis riwayat kejadian,
pemeriksaan sekitar area, pengambilan gambar radiografi. Bila gigi
telah dikembalikan ke posisi semula dan dapat diterima, perawatan
selanjutnya adalah melakukan splinting.
Bila pasien datang
namun gigi belum dikembalikan ke soket, jangan melakukan kuretase
maupun sterilisasi permukaan akar maupun soket. Debris pada permukaan
akar dibersihkan perlahan menggunakan busa yang dibasahi saline.
Soket juga diirigasi dengan saline, kemudian panjang gigi diukur dan
dicatat. Setelah gigi dikembalikan ke soket, dilakukan foto
radiografi untuk memeriksa posisi gigi kemudian dapat dipasangkan
splint.
Pasien kemudian diberi edukasi mengenai diet, yaitu dengan
menghindari makanan yang keras, dan disarankan makan makanan yang
lunak.
Seminggu setelah
replantasi, langkah selanjutnya adalah mempersiapkan akses kavitas,
debridement pada kanal, dan preparasi dengan panduan panjang seperti
yang tadi dicatat, lalu ditumpat sementara dengan ZOE. Gigi
immature
tidak perlu dilakukan ekstirpasi pulpa karena pulpa dapat
revitalisasi untuk pengembangan bagian apikal. Apabila kemudian
terjadi nekrosis pulpa, maka perlu dilakukan debridemen kanal dan
prosedur apeksifikasi.
Dua minggu setelah
replantasi (satu minggu setelah preparasi kanal), tempatkan pasta
kalsium hidroksida di kanal untuk mencegah dan mengurangi resorbsi
eksterna. Bila pasta diberikan terlalu awal, sebelum ligamen
periodontal mengalami regenerasi, kemungkinan resorbsi dapat
meningkat. Perlu diadakan kontrol ke dokter gigi setiap bulan.
Setelah ligamen
periodontal dan apeks mengalami perbaikan (memakan waktu 3-6 bulan)
yang dapat dilihat secara radiografis, gigi dibuka kembali. Dinding
kanal disegarkan kembali dengan melakukan preparasi ringan, kemudian
diisi dengan gutta-percha dan sealer.
Kontrol selanjutnya dilakukan satu bulan kemudian, lalu selanjutnya
kontrol setiap 3 bulan. Resorbsi eksterna biasanya muncul pada tahun
pertama, atau dapat pula tidak muncul
(Weine,
2004).
Macam
Medium Transport
Gigi avulsi yang
tidak dapat langsung direplantasi, perlu suatu medium transport
sampai dibawa ke dokter gigi untuk dilakukan tindakan. Medium
transport juga digunakan untuk menciptakan suasana kondusif, agar
gigi dapat direplantasi dengan sukses. Selama bertahun-tahun,
kebanyakan orang membungkus gigi avulsi dengan kertas tisu. Hal ini
menyebabkan ligamen periodontal mengering dan mengurangi tingkat
kesuksesan perawatan, oleh karena itu, lebih baik gigi disimpan dalam
medium transport. Macam medium transport:
Saliva merupakan
salah satu medium transport yang sangat baik. Beberapa ml saliva
dapat dikumpulkan dalam gelas kecil, kemudian gigi dimasukkan di
dalamnya. Cara lain adalah dengan menaruh gigi di bawah lidah.
Hati-hati dengan pasien anak, atau dengan pasien yang mudah muntah,
karena ada kemungkinan gigi dapat tertelan
Susu juga merupakan
medium transport yang baik, namun tidak selalu ada bila dibandingakan
dengan saliva yang selalu ada. Susu mengandung antigen yang
menimbulkan reaksi imunologik dalam proses reattachment (perlekatan
kembali).
Air merupakan
pilihan medium transport terakhir apabila tidak ditemukan medium
transport yang lain. Air dapat memperlambat proses kematian ligamen
periodontal.
Instruksi
Post Operatif dan
Perawatan Sistemik
Memakan
makanan lunak.
Antibiotik
sistemik – memperkirakan kemungkinan kontaminasi yang dapat
terjadi setelah replantasi.
Konsultasi
tentang perlu atau tidaknya pemberian booster anti-tetanus.
Pembengkakan
setelah operasi adalah normal dan nyeri jarang terjadi setelah
perawatan. Analgesic perlu diberikan selama 1-4 hari.
Perawatan
Pasca Replantasi
Setelah endodontic,
dilakukan pemeriksaan radiografi setiap 6 bulan, untuk melihat
keadaan gigi yang dirawat. Keadaan yang dapat timbul adalah resorbsi
akar gigi dan ankylosis. Resorbsi dapat dilihat secara radiografis
pada permukaan lateral akar gigi. Bila terjadi resorbsi ekstensif,
sebagian besar struktur gigi kemungkinan diganti oleh tulang. Pada
keadaan ankylosis, gigi terhambat untuk erupsi sehingga terlihat
lebih pendek dibandingkan dengan gigi tetangga. Mahkota jaket
diindikasikan pada keadaan ini. Beberapa gigi dapat mengalami baik
resorbsi maupun ankylosis.
Prognosis
Jangka Panjang untuk
Gigi Replantasi
Prognosis
buruk.
Walaupun
dalam jangka waktu lama gigi tersebut dapat bertahan dalam kondisi
baik, tetapi masalah dapat timbul tanpa sebab yang jelas. Hal ini
masih subjektif, ada kasus dimana kalsium hidroksida yang diganti
beberapa kali akan berakhir dengan sukses, sedangkan pada mulut yang
sama tetapi pada gigi yang berbeda memberi respon yang baik karena
hanya memerlukan 1 kali aplikasi. Pada kasus tertentu juga, gigi
yang diasumsikan dapat berespon baik diisi dengan guttapercha, akan
tetapi setelah beberapa tahun defek secra resorptif terjadi sehingga
memerlukan perawatan selanjutnya. Trauma Endodontics